Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Klub Solidaritas Suami Hilang

Kompas.com - 01/04/2013, 00:59 WIB

Intan Paramaditha

Berbaju hitam, semua orang termasuk dirimu duduk membentuk lingkaran. Kau mulai menghafal beberapa nama: Carmencita dari Meksiko, Soonyi dari Korea Selatan, dan Andy yang lahir di Boston.

Dona Manuela, perempuan Argentina tinggi gempal berumur enam puluh lima, adalah pendiri perkumpulan. Ia terus mendengarkan sambil mengelap bingkai foto, kotak musik, atau koleksi miniatur rumahnya. Kecuali dirimu, seluruh anggota bermukim di Los Angeles. Namun, di ruang tamu Dona Manuela, perbatasan mesti dilewati demi perjalanan ke belakang. Menelusuri ingatan dari Tijuana hingga Laut Cina Timur, Klub Solidaritas Suami Hilang adalah sebuah klub internasional.

Kau tak mengira kota dengan sistem transportasi umum yang buruk bisa mengantarmu ke sana. Namun, bukan pada Los Angeles kau berutang, melainkan sebuah toilet di kantor polisi.

Seorang polisi perempuan mencatat perihal kehilangan suamimu. Alisnya berkerut saat kau sebutkan beberapa ciri (62 tahun, kulit putih, gemuk, menderita asma). Matanya memindai halaman depan paspormu, seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa usiamu belum genap tiga puluh, dan sesekali ia mencuri pandang ke arah syalmu yang cantik. Selayaknya pelayan masyarakat yang terpuji, ia menyelesaikan laporannya dan berkata hangat, ”Kami akan berusaha sebaik mungkin.”

Di toilet kau berpapasan dengan perempuan lain. Rambutnya kelabu, berpotongan bob. Usianya mungkin sekitar delapan puluh. Ia tersenyum ramah, lalu menegurmu dalam bahasa yang sedikit kaku, ”Dari Indonesia, ya?”

Setelah meninggalkan Malang di tahun 60-an, ia tak pernah pulang lagi. Bertahun-tahun ia tinggal di Den Haag sebelum pindah ke California.

Dengan jujur kau mengaku baru saja membuat laporan kehilangan suami. Di New York, kau dan suamimu merencanakan bulan madu. Kau terbang lebih dulu ke Los Angeles karena ia harus menghadiri konferensi di Eropa, tetapi setelah lewat tiga hari ia belum menyusulmu. Seluruh alat komunikasi tak berfungsi.

Ibu itu mengangguk, tampak bersiaga ketimbang bersimpati. Ia merogoh tas tangannya dan menyodorkan selembar kartu nama. Sementara ia mencuci tangan, kau mengamati nama aneh yang tertera di sana.

”Dulu saya aktif di perkumpulan. Siapa tahu berguna buat Anda. Bilang saja dengar dari saya, Yunita.”

”Bu Yunita datang kemari... juga karena kehilangan suami?”

”Oh, bukan! Saya kehilangan dompet,” ia menutup keran air. ”Sudah empat puluh tahun lebih suami saya mati.”

Ibu Yunita membolak-balikkan tangan keriputnya di bawah mesin pengering. Ucapan maafmu tertelan deru mesin. Ia sempat menengok cermin untuk merapikan rambut pendeknya.

”Yuk, saya duluan. Mudah-mudahan suami Anda ketemu.”

Klub Solidaritas Suami Hilang tak menemukan yang hilang, tetapi menghidupi kehilangan. Meski demikian, Doña Manuela selalu siap membagi kontaknya—polisi, detektif swasta, jaringan aktivis—serta membahas kiat-kiat berhadapan dengan aparat negara. Jangan sampai kita jadi korban dua kali, begitu prinsipnya. Ia aktif di beberapa kelompok yang menuntut keadilan untuk korban Perang Kotor di Argentina. Mertuanya adalah anggota Asosiasi Ibu Plaza de Mayo.

”Ada beberapa foto yang belum kuperlihatkan.”

Itu adalah suara serak-serak basah Carmencita. Ia membuka laptop Dell mungil berbungkus ungu, siap memamerkan sejumlah foto.

Carmencita dan suaminya pergi ke Paris tiga tahun lalu, tepatnya di musim semi 2005, untuk membuat foto-foto pra-pernikahan. Mereka menautkan gembok bertuliskan ”Carmencita & Pablo” pada jembatan cinta legendaris Pont des Arts. Seorang kawan fotografer mengabadikan Carmencita, dalam pelukan Pablo, dengan gaun putih yang pendek di depan tetapi menjuntai di belakang. Ia mirip bintang telenovela.

Pablo pamit ke supermarket Walmart di suatu sore tanpa pernah kembali. Sampai kini pakaiannya masih tersimpan rapi di lemari.

”Gembok itu akan di sana selamanya, seperti cinta kami.”

Di sebelah Carmencita, Andy Horowitz memutar bola matanya ke atas.

”Aih, romantis! Semoga tak ada orang gila mengamuk dan membakar jembatan, ya.”

”Jahat sekali!”

”Menurutku, menurutku lho,” Andy berucap manis, ”cuma orang bodoh yang menggantung gembok cinta.”

”Aku kenal pasangan pengarang dari Guadalajara yang melakukannya!” tukas Carmencita.

Andy tak percaya banyak hal, termasuk pernikahan, setidaknya sampai ia mengalami kecelakaan parah dan harus dioperasi. Karena Greg, pasangannya selama satu dekade, tidak dianggap keluarga sungguhan, Ibu Andy terbang dari Boston untuk menandatangani surat persetujuan. Setelah sembuh, Andy banyak berpikir tentang hukum. Jika ia koma berbulan-bulan, ia memilih disuntik mati. Ia ingin Greglah yang membuat keputusan medis terakhir untuknya. Tapi sebelum eutanasia memisahkan keduanya, Greg menghilang. Terakhir kali ia menelepon Andy saat hendak menyeberangi Selat Hekate yang rawan badai dan cuaca buruk.

Di Klub Solidaritas Suami Hilang, kita mengingat yang tak hadir lewat cerita berulang. Kita bisa berangkat dari titik mana pun, baik secara linear— dari awal pertemuan sampai hilangnya suami—maupun dengan alur mundur. Sebagian memilih teknik in medias res.

Perenungan tentang masa tua memicu keputusan Andy menikah di Toronto (di tahun 2006 ini belum dimungkinkan di California). Cerita Andy kemudian bergerak ke belakang, ke galeri seni tempat ia dan Greg bertemu. Ia seorang editor film, bekerja di ruang tertutup, sedangkan Greg seorang fotografer pencinta alam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com