Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Klub Solidaritas Suami Hilang

Kompas.com - 01/04/2013, 00:59 WIB

Ketika tiba kesempatanmu bicara, kau merunut kronologi kehilangan seperti di kantor polisi. Carmencita, terlihat lebih sendu darimu, bertanya, ”Apa yang paling kau ingat tentang suamimu?”

Kau menatap sekeliling sambil berusaha mengingat-ingat. Sedikit gugup, kau balas bertanya, ”Bisa kuceritakan lain kali?”

Rekan-rekanmu mengangguk meski tampak kebingungan. Lalu terdengar suara Soonyi, pelan dan ringkih, persis gerak-gerik tubuhnya. Wajahnya manis, meski tentu ia lebih tua dari Doña Manuela.

”Tidak apa-apa. Aku juga tak punya banyak kenangan tentang suamiku.”

Ada yang tercecer setelah Perang Korea usai dan Amerika menarik mundur tentaranya. Hal besar seperti perang kerap meninggalkan serpihan kecil, tak berguna dan jorok, seperti sifilis dan bayi.

Di umur 17, Soonyi melahirkan anak berkulit hitam dari seorang tentara yang ia sebut suami meski upacara pernikahan tak pernah ada.

”Laki-laki itu tak pernah menghubungiku. Bahkan alamatnya palsu,” kata Soonyi, masih bersuara pelan. ”Tapi tak ada ingatan yang lebih nyata dari Jihoon, putraku. Karena dia aku menjadi sundal. Karena dia tidak berbapak dan kulitnya hitam.”

Para peserta memilih diam. Entah bagaimana kau tahu inilah yang selalu terjadi. Sebagian cerita selalu menikam, tak pernah tumpul meski diulang-ulang.

Suara Doña Manuela memecah hening,

”Selanjutnya?”

Kau mulai paham bagaimana para anggota mengakrabi kehilangan. Ingatan menjadi kuil yang mesti dilap hingga berkilat, seperti tiap sudut bingkai foto yang dibersihkan Doña Manuela dengan saksama. Beberapa perempuan sibuk merajut. Carmencita memilih mengecat kuku. Soonyi selalu memasak bibimbap (yang menurutmu mirip nasi campur gado-gado) untuk dimakan bersama. Hanya Andy sang editor yang merasa tak butuh prakarya, sebab setiap hari ia sudah melakukannya: menggunting, memindahkan, dan merekat cerita.

Di hari-hari tertentu rajutan dibongkar paksa dan cat kuku luber di kulit.

Di hari macam itulah kau datang lebih awal dan berpapasan dengan Soonyi di pintu. Tampak kurang sehat, ia bergegas pulang. Tak lama kemudian kau temukan sesuatu di lantai kamar mandi. Seseorang telah meludah seenaknya.

”Kau melihatnya?” Doña Manuela menghampirimu. ”Maaf. Itu pasti Soonyi.”

”Dia sakit?”

”Jantungnya lemah, ya. Tapi soal meludah, sudah lama dia berhenti,” kata Doña Manuela. ”Dulu dia kecanduan. Dia melakukannya di tempat-tempat yang dijaga ketat, seperti kantor pemerintah dan perpustakaan kota.”

Kau tak tahu pasti apa rasanya punya anak haram berkulit hitam di Korea sesudah perang.

Soonyi bertekad kabur. Lewat sebuah perkawinan singkat, ia akhirnya menjejakkan kaki di Amerika pada tahun 1975. Sejak itulah ia kerap dilanda hasrat menggebu-gebu untuk meludahi fasilitas publik. Ia pernah ditangkap satpam, tapi kemudian dibebaskan karena dianggap sedang sakit. Lagi pula, wajahnya manis tanpa dosa.

Kau teringat mencicipi bibimbap. Setelah Soonyi meludah, mulutmu terasa jorok.

Saat membantu membersihkan kamar mandi, kau tak hanya mendengar lebih banyak tentang Soonyi, tetapi juga Doña Manuela, yang kehilangan suami semasa rezim militer di akhir 1970-an.

”Jelas dia sudah mati. Tapi dengan cara apa, aku tidak tahu,” ujarnya. ”Mungkin tak jauh beda dengan suami Yunita.”

Deru mesin pengering tangan di toilet kantor polisi kembali terngiang.

Yunita, kata Doña Manuela, tak pernah tahu apakah suaminya ditembak atau disembelih.

”Apakah suaminya mati di Jawa atau Bali, dia juga tak tahu pasti.”

Tak ada mesin, dan tenggorokanmu kering.

Di tempatku orang dihilangkan dengan beragam cara, lanjutnya. Ia bisa ditelanjangi dan dilempar ke sungai yang dingin, atau dipaksa terjun dari helikopter. Setiap hari kami memilih khayalan sendiri.

Di kamar mandi itu kau mengharapkan bising. Tapi kau hanya menemukan gelondongan tisu, bersih dan bisu, tak menyelamatkanmu.

”Anda pasti sangat mencintai suami Anda, Doña.”

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com