YOHAN WAHYU
Sirkulasi elite dalam konteks pergantian kepemimpinan politik adalah salah satu syarat bagi terwujudnya iklim demokrasi yang sehat. Fenomena kekerabatan politik dinilai berpotensi menghambat jalannya sirkulasi politik yang terbuka dan partisipatif.
Fenomena banyaknya hubungan kekerabatan dalam kepemimpinan politik di negeri ini semakin menguatkan gejala dinasti politik. Hal ini khususnya terekam dalam pemilu kepala daerah (pilkada) langsung. Petahana kepala daerah cenderung berupaya mempertahankan kekuasaan dengan melimpahkan dukungan kepada kerabatnya dalam pilkada. Data hasil kontestasi politik di tingkat lokal mencatat, tidak sedikit kerabat petahana sukses memenanginya.
Gejala ini dinilai publik cukup mengkhawatirkan, meski dari sisi perundang-undangan masih bisa dimungkinkan. Publik menilai pola penguasaan politik semacam itu bakal menjerumuskan kondisi politik menjadi tidak sehat dan berdampak negatif.
Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu merekam, separuh lebih responden (60,2 persen) menilai buruk bentuk kekerabatan politik.
Namun, kelompok responden lain menyebut gejala kekerabatan politik itu tidak lepas dari kontekstualisasi yang terjadi pada dinamika politik lokal. Sulit diingkari bahwa ikatan primordial, tingkat pendidikan, kesulitan ekonomi, dan keterbelakangan daerah masih menjadi ciri khas sebagian besar pemilih. Hampir 60 persen responden, misalnya, masih melihat kesamaan agama dan putra daerah sebagai faktor yang turut menentukan arah pilihan mereka dalam pilkada, meski penentu akhir bisa saja terakumulasi dalam kemampuan sang figur.
Maka, meskipun di atas kertas cenderung dipersoalkan, dalam praktiknya, kekerabatan politik sudah menggejala kuat. Identifikasi yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri mencatat, ada sekitar 57 kepala daerah yang kini sedang membangun dinasti politiknya. Di Provinsi Banten, misalnya, data kementerian menyebutkan, ada empat kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memiliki hubungan keluarga dengan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.
Politik kekerabatan dalam pola lain juga muncul, misalnya dalam pola regenerasi kepemimpinan daerah. Seperti yang terjadi dalam Pilkada Bangkalan, Jawa Timur, mantan Bupati Fuad Amin Imron digantikan putranya sendiri, Makmun Ibnu Fuad, yang saat ini tercatat sebagai bupati termuda se-Indonesia (usia 26 tahun). Pola lain adalah kekerabatan politik yang berbeda kamar, yakni antara kamar eksekutif dan legislatif. Wali Kota Pasuruan, Jawa Timur, misalnya, dikontrol oleh DPRD yang dipimpin anak kandungnya.
Berbagai pola kekerabatan politik ini jelas memengaruhi proses sirkulasi politik di tingkatan elite. Secara umum, akan sulit bagi ”pendatang baru” untuk menembus jejaring kekuasaan politik yang berkelindan dengan ikatan kekerabatan darah. Terlebih dalam praktiknya, sebagian besar petahana menggunakan kekuatan struktur birokrasi daerah untuk memenangkan kerabatnya dalam pertarungan pilkada.
Pembatasan
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanDapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.