JAKARTA, KOMPAS.com - Daging sapi yang merupakan sumber pangan berkualitas seolah tidak lagi diperuntukkan bagi rakyat. Bisnis daging sapi di Indonesia dikuasai kelompok-kelompok tertentu yang terlibat dalam praktik kartel. Hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, praktik kartel melemahkan kebijakan dan tata laksana impor daging sapi. Akibatnya, kebijakan tersebut tidak lagi berpihak pada 6,2 juta peternak rakyat, peternak skala kecil, dan peternak skala menengah.
“Jadi bisnis ini sudah dimiliki kartel. Kami menduga kartel ini ada jaringan dengan kapitalisme asing, di mana yang harusnya hak peternak dilindungi negara malah kena kartel asing,” kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas saat memaparkan hasil kajian kebijakan tata-niaga komoditas strategis daging sapi di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (20/2/2013).
Menurut Busyro, kebijakan tata niaga daging sapi ini sudah didesain untuk melegalkan praktik korupsi. Ada pihak yang begitu berpengaruh terhadap Kementerian Pertanian dalam menentukan kebijakan niaga daging sapi.
“Dewan Daging Nasional ini bukan lembaga negara, tapi sering kali menentukan harga impor daging, lalu diakses Indonesia. Kita akan menjelaskan sejauh mana tingkat keterpengaruhan Kementan oleh harga-harga ini. Sejuah mana swasta justru lebih berperan dibandingkan lembaga negara,” ujar Busyro.
Temuan yang paling mencengangkan, kata Busyro, terjadinya inflasi daging sapi di Jawa Timur. Hal ini, menurut hasil kajian KPK, terjadi karena penghasil daging sapi lokal sulit memasok barang produksinya ke Jakarta. Kesulitan itu dikarenakan ada kelompok-kelompok tertentu yang menghalangi distribusi daging sapi ke Ibu Kota tersebut.
Kelompok-kelompok yang bermain dalam bisnis kartel ini, menurut Busyro, cenderung berani melangkahi aturan hukum, hingga kaidah agama. “Bisnis kartel ini, pelaku bisnis sangat mengandalkan patrolnya. Tidak perlu orang ahli, tapi yang penting adalah lobi-lobi, siapa yang berani menyuap. Kaidah hukum diterjang, kaidah agama diterjang,” katanya.
Busyro bahkan menduga kalau kelompok kartel ini berkaitan dengan jaringan kapitalisme asing. Dengan demikian, Pemerintah tetap membuka keran impor daging sapi meskipun sebenarnya mengetahui kalau peternak lokal bisa memenuhi kebutuhan daging nasional. Pemerintah pun sudah menganggarkan Rp 18,7 triliun untuk program swasembada daging APBN 2009-2014.
“Sebanyak 93 persen peternak kita bisa memenuhi kebutuhan daging nasional, termasuk untuk masuk ke Jakarta. Tapi kenapa enggak bisa? Kenapa terhambat? Ada sejumlah orang yang mencegah pemotongan sapi di RPH (rumah potong hewan)” ujar Busyro.
Tim peneliti KPK, lanjut Busyro, menemukan lima RPH yang kosong bertahun-tahun karena terhalang kelompok-kelompok bisnis kartel tersebut. Bahkan, katanya, para peternak di daerah sampai merasa apatis akan kondisi tata niaga daging sapi yang tidak memihak kepada rakyat kecil tersebut.
Jika kondisi ini terus berlanjut, Busyro khawatir, akan berujung pada konflik horizontal. Oleh karena itulah, katanya, KPK melakukan pencegahan melalui kajian ini. Busyro pun berharap hasil kajian KPK ini bisa direspon sungguh-sungguh oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Saya yakin beliau begitu mendapatkan laporannya, akan melakukan sesuatu,” tambahnya.
Baca juga:
Berdagang Pengaruh Politik ...
Lika-liku Daging Impor
Berita terkait dapat dibaca dalam topik:
Skandal Suap Impor Daging Sapi