JAKARTA, KOMPAS.com — Korupsi politik tidak terjadi hanya pada APBN. Dana politik yang jauh lebih besar bisa diperoleh dengan memperdagangkan kebijakan.
"Korupsi APBN, seperti mark-up, fee proyek, pengambilan dana proyek, hanya modus konvensional. Justru korupsi politik melalui kebijakan yang dibuat otoritas pemerintah, baik di kabinet maupun parlemen, jauh lebih besar tapi sulit terdeteksi dalam diskusi publik," tutur pengajar FISIP Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, AAGN Dwipayana, Minggu (3/2/2013), saat dihubungi dari Jakarta.
Sumber dana politik yang sangat potensial antara lain terdapat di sektor-sektor pertambangan dan energi, kehutanan, pertanian, dan perdagangan. Kementerian di bidang-bidang ini pun dibagi pada politisi dari berbagai partai.
Kementerian ESDM dipimpin politisi Partai Demokrat, Kementerian Kehutanan, oleh politisi PAN, Kementerian Pertanian oleh politisi PKS, Kementerian Agama oleh politisi PPP.
Beberapa kasus korupsi yang muncul dari kebijakan yang diperdagangkan antara lain kasus suap Bupati Buol yang melibatkan politisi dan pengusaha Partai Demokrat serta kasus impor daging yang melibatkan elite PKS. Kebijakan yang dimiliki otoritas, baik di parlemen maupun kabinet, menurut Ari, membuka peluang perburuan rente.
Airlangga Pribadi, pengajar Ilmu Politik di Universitas Airlangga, Surabaya, juga menilai para elite menghidupi partai-partai politiknya melalui aliansi bisnis-politik yang berjalan dalam proses perburuan rente. Hal ini terjadi melalui konsolidasi finansial pada momen elektoral tingkat lokal sampai nasional serta proses legislasi yang melibatkan anggota parlemen lokal dan nasional.
Di sisi lain, perburuan rente dilakukan melalui pos-pos strategis, baik sebagai kepala dinas maupun kementerian yang dikuasai kekuatan parpol. Hal ini terjadi karena sistem kepartaian Indonesia mengalami kartelisasi.
Partai-partai politik bukan berkompetisi dalam pemilu atau di parlemen, melainkan bekerja sama berburu rente. Terlebih lagi, pembiayaan politik di era reformasi semakin tinggi akibat fenomena amerikanisasi metode kampanye. Politisi menggunakan iklan media massa secara massif. Kegiatan politik pun kini ditangani profesional.
"Di tengah kebutuhan biaya politik yang tinggi, jauh lebih mudah mendapatkan rente dengan memperdagangkan otoritasnya ketimbang mendapatkan pembiayaan partai dari sumber partai. Karenanya, elite relatif independen dari grass root untuk mendapatkan sumber pendanaan politik," tutur Ari.
Wilayah Presiden
Mengatasi semua ini, lanjut Ari, diperlukan transparansi dan akuntabilitas kebijakan yang dibuat politisi. Jangan sampai kebijakan dibuat hanya untuk menguntungkan korporasi tertentu dengan imbal balik pemberian biaya politik kepada parpol.
Selain itu, wujudkan demokratisasi ekonomi. Bila prinsip-prinsip ekonomi yang adil dan jujur diterapkan, maka kompetisi akan adil sehingga kebijakan tidak hanya menguntungkan korporasi yang dekat dengan politisi. Masalah otoritas pembuat kebijakan ini ada dalam pemantauan Presiden.
Di sisi lain, kata Airlangga, penegakan hukum mutlak diperlukan. KPK harus memperkuat diri dan masyarakat sipil harus mendukung penuh supaya kerja KPK tidak diintervensi parpol.
Selain korupsi APBN, KPK juga perlu masuk pada kebijakan terkait sumber daya alam yang sangat berpotensi menjadi sumber pembiayaan parpol.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU juga perlu mengamati ada tidaknya cara meraih keuntungan dengan cara tidak adil melalui kebijakan. Sebab, persaingan usaha tidak sehat tidak hanya terjadi pada oligopoli dan monopoli.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.