JAKARTA, KOMPAS.com -- Di tengah menyeruaknya polemik perda syariah, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini menilai, penyebutan nama perda syariah yang selama ini digunakan tidak tepat.
Menurut Jazuli, dalam konstruksi pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak dikenal kata "perda syariah", karena Indonesia bukan negara agama. Hal ini perlu diluruskan, karena isunya selalu terkesan negatif ketika menyebut "perda syariah". Bahkan, bagi sebagian orang, nilai agama sering dibenturkan dengan kepentingan bangsa dan negara. Padahal, dasar negara kita Pancasila dimana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang maknanya setiap agama dapat mengaktualisasikan nilai-nilai agama sesuai keyakinan dan kepercayaannya masing-masing.
"Artinya, nilai-nilai agama di Indonesia sudah seharusnya menjadi basis moralitas publik yang menjadi solusi berbagai macam persoalan bangsa. Pemberantasan korupsi misalnya, tidak akan berjalan efektif jika setiap individu tidak ditanamkan moralitas agama sejak dini. Sehingga berbicara syariat Islam itu sejatinya luhur, indah, dan pasti rahmatan lilalamin," tutur Jazuli, Jumat (11/1/2013) di Jakarta.
Jazuli menyarankan, daripada menyeret-nyeret 'embel-embel' syariah terhadap perda yang kontroversi, lebih baik fokus pada subtansinya apakah mengandung diskriminasi atau pelanggaran kepentingan umum. "Sebut saja perda-perda yang terindikasi diskriminatif. Saya kira ini jauh lebih baik dan obyektif," katanya.
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan itu menyatakan, dari sekian banyak perda yang dinilai bernuansa syariat ternyata setelah dibaca pada umumnya mengatur ketertiban umum, sopan santun/etika publik, adat istiadat/budaya luhur, larangan perilaku asusila, dan antisipasi tindak kejahatan.
"Kalau subtansinya demikian, tentu seharusnya semua agama punya konsen yang sama, semua agama mengajarkan hal yang sama, jadi bukan hanya domain (syariat) Islam," katanya.
Hanya saja, kata dia, mungkin sejumlah subtansi dari perda-perda tersebut dipersepsi diskriminatif oleh sebagian pihak. "Nah, yang demikian jangan kemudian langsung distigmatisasi sebagai perda syariah. Tentu ini sangat bias dan merugikan umat islam. Sebut saja perda dimaksud subtansinya diskriminatif," kata Jazuli.
Untuk perda-perda diskriminatif dan melanggar kepentingan umum, menurut Jazuli, tersedia ruang evaluasi oleh pemerintah maupun publik melalui uji materi. "Jangan isunya dikembangkan yang justru berdampak pada mendeskriditkan syariat Islam atau ajaran agama manapun," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.