Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gawat Darurat Pendidikan

Kompas.com - 14/12/2012, 02:34 WIB

Kondisi gawat darurat ini tentunya harus segera direspons bila kita tak ingin gagal dalam mempersiapkan anak-anak dengan kecakapan yang mereka butuhkan untuk menghadapi tantangan abad ke-21, dengan masalah yang semakin kompleks yang kerap membutuhkan alternatif penyelesaian dengan cara-cara yang tidak biasa. Kegagalan kita dalam mempersiapkan generasi mendatang tentunya akan berimbas pada keberlangsungan bangsa dan negara di tengah persaingan global.

Memanfaatkan asesmen internasional

Pemeringkatan tentunya bukanlah tujuan utama keikutsertaan Indonesia dalam PISA, TIMSS, PIRLS, ataupun asesmen international lain. Berbagai kajian yang dilakukan oleh penyelenggara asesmen sebetulnya memberikan informasi yang sangat kaya yang dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi kebijakan dan praktik pendidikan yang dijalankan selama ini. Kita pun dapat belajar dari kesuksesan negara-negara lain dalam mempersiapkan anak-anaknya dengan sikap-sikap dan kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan abad ke-21.

Strong Performers and Successful Reformer in Education: Lessons from PISA for the United States yang diterbitkan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) 2010 menegaskan, antara lain, bahwa negara-negara yang menempati peringkat atas memberikan perhatian yang serius terhadap pengembangan kualitas guru. Negara-negara peringkat atas yang dikaji dalam laporan OECD tersebut ialah China, yang diwakili oleh Shanghai dan Hongkong, Kanada, Finlandia, Jepang, dan Singapura.

Finlandia, misalnya, merekrut guru dari 10 persen terbaik lulusan perguruan tinggi, sementara Kanada dari 30 persen terbaik. Hal ini tentunya dimungkinkan bila profesi guru mendapatkan penghargaan tinggi di mata masyarakat dan dunia kerja, yang juga terkait pendapatan yang diterima.

Dalam rangka pengembangan kompetensi, guru-guru di Singapura mendapatkan pelatihan selama 100 jam setiap tahun, sementara guru-guru di Shanghai mendapatkan pelatihan selama 240 jam dalam kurun lima tahun. Sangat kontras dengan minimnya pelatihan yang diperoleh guru-guru SD di Indonesia berdasarkan hasil survei Federasi Serikat Guru Indonesia (Kompas, 6/12/2012).

Pembelajaran di negara-negara peringkat atas PISA semakin difokuskan pada penalaran tingkat tinggi yang menggeser pembelajaran yang berorientasi penguasaan materi untuk persiapan tes atau ujian yang kerap didominasi oleh hafalan dan latihan-latihan soal. Pergeseran fokus pembelajaran tentunya membutuhkan guru-guru yang mampu menciptakan atmosfer belajar yang mendukung.

Kelas yang makin heterogen dari sisi kemampuan akademis siswa juga menjadi kecenderungan di negara-negara peringkat atas tersebut. Shanghai dan Hongkong telah meniadakan ujian di akhir jenjang pendidikan dasar yang biasa digunakan untuk menyeleksi siswa ke jenjang pendidikan berikutnya karena dipandang sebagai penghalang bagi pembelajaran yang mendorong kreativitas dan inovasi. Tempat tinggal siswalah yang menentukan ke mana siswa dapat melanjutkan sekolahnya. Konsekuensinya, tentu pemerintah harus menjamin bahwa semua sekolah memiliki kualitas yang bagus.

Hal ini sangat kontras dengan Indonesia yang menggunakan nilai UN untuk seleksi siswa ke jenjang pendidikan berikutnya, bahkan untuk siswa SD yang akan melanjutkan ke SMP. Di lain pihak, Finlandia hanya mengadakan ujian untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

Revisi kurikulum

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com