Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendagri: Banyak Kepala Daerah Tak Paham Batasan Korupsi

Kompas.com - 12/12/2012, 00:44 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi melihat wajar banyak kepala daerah tak mengerti soal peraturan korupsi. Menurut Gamawan, ketidaktahuan para kepala daerah yang bisa menjerumuskan mereka ke dalam kasus hukum itu dikarenakan sistem yang sangat terbuka dalam pemilihan kepala daerah.

"Sekarang siapa saja bisa jadi bupati. Artis pun bisa jadi bupati, bukan hanya birokrat. Jadi wajar saja, ketika ambil keputusan bisa salah padahal tidak berniat (korupsi)," ujar Gamawan, Selasa (11/12/2012), di Gedung Kompleks Parlemen Senayan.

Gamawan mengakui masih banyak kepala daerah yang tidak paham batasan-batasan tindakan yang disebut korupsi. Karena itu, ia mengatakan mulai tahun ini, Kementerian Dalam Negeri menerapkan sistem orientasi bagi bupati terpilih agar lebih paham soal kepemerintahan. "Nah, yang ada saat ini yang belum pernah diorientasi, jadi ya sudah mau diapain lagi. Sudah terlanjur. Ke depan, kita terapkan sistem orientasi dulu di sini (Kementerian Dalam Negeri)," kata Gamawan.

Gamawan juga mengatakan perlunya regulasi yang jelas untuk mengatur pengambilan keputusan seorang kepala daerah agar tidak menyalahi peraturan tindak pidana korupsi. "Regulasinya tidak boleh abu-abu, regulasi harus kita benahi sekarang supaya jelas batas-batas tanggung jawabnya," kata Gamawan.

Ia mendukung revisi Undang-undang Administrasi Pemerintahan segera bisa diselesaikan. Undang-undang itu diharapkan bisa mengakomodasi pengeculian tindakan kepala daerah dalam menggunakan anggaran dalam keadaan darurat. Saat ini, untuk menggunakan anggaran, kepala daerah harus mendapat persetujuan DPRD sehingga prosesnya panjang. "Undang-undang itu akan melindungi kepala daerah dalam membuat kebijakan," kata Gamawan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin kemarin di Istana Negara mengatakan, berdasarkan pengalamannya dalam 8 tahun terakhir, ada dua jenis korupsi. Pertama, pejabat memang berniat untuk melakukan korupsi. Kedua, tindak pidana korupsi terjadi karena ketidakpahaman pejabat terhadap peraturan perundang-undangan. "Negara wajib menyelamatkan mereka-mereka yang tidak punya niat melakukan korupsi, tetapi bisa salah di dalam mengemban tugasnya. Kadang-kadang, diperlukan kecepatan pengambilan keputusan dan memerlukan kebijakan yang cepat. Jangan dia dinyatakan bersalah dalam tindak pidana korupsi," kata Presiden disambut tepuk tangan para undangan.

Presiden menambahkan, ketidakpahaman itu juga mengakibatkan keraguan pejabat ketika hendak mengambil keputusan atau menggunakan anggaran lantaran takut disalahkan. Bahkan, kata Presiden, keraguan itu juga terjadi di tingkat menteri. Akibatnya, program pembangunan terhambat. "Hal begini tidak boleh terus terjadi. Kegiatan penyelenggaraan tidak boleh berhenti karena semua orang ragu-ragu dan takut untuk menetapkan kebijakan dan menggunakan anggaran," ucap Presiden.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com