Oleh Chris Panggabean
Pemilu masih dua tahun lagi, tetapi pilihan politik akan ditentukan tahun ini. Saat ini KPU sedang melakukan proses verifikasi partai politik peserta pemilu.
Sementara itu, beberapa lembaga swadaya masyarakat yang memantau proses ini menengarai, komisioner KPU punya preferensi: meloloskan yang tak lengkap dan mengeliminasi parpol baru. Badan Pengawas Pemilu membahasakannya: ada pelanggaran kode etik.
Indikasinya, sebelum Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa parpol yang di DPR juga harus ikut diverifikasi, semua syarat verifikasi yang berat tidak bisa dinegosiasikan. Disengaja atau tidak, proses verifikasi yang sedang berlangsung mengarah pada lolosnya semua parpol yang memiliki kursi di DPR. Kondisi status quo ini tentunya tidak sejalan dengan kehendak publik yang mengharapkan perubahan.
Verifikasi oleh publik
Teori psikologi sosial klasik dari Kurt Lewin, field theory, menganggap benak manusia sebagai medan energi yang kompleks dan mengandung ketegangan-ketegangan dengan beragam titik keseimbangan. Manusia memiliki sejumlah kebutuhan yang menciptakan ketegangan sampai ia terpenuhi.
Valensinya bisa positif dengan mendekati suatu obyek tujuan atau menjauhinya. Daya ini akan terus bergerak hingga ia mencapai tujuan. Pada titik ekuilibrium itulah ketegangan mereda. Salah satu kebutuhan yang sifatnya psikologis adalah hadirnya virtu. Ciri virtu adalah kehadirannya akan mendatangkan pujian, sedangkan jika ia hilang maka masyarakat merindukannya (Peterson & Seligman, 2004).
Fenomena ini masih akan berlanjut. Sepanjang tahun ini, sejumlah lembaga melakukan survei preferensi politik publik. Secara konsisten semua survei menunjukkan 40-50 persen responden belum menentukan pilihan. Publik masih menunggu adanya tokoh dan parpol alternatif. Jika tren ini berlanjut hingga 2014, sangat mungkin parpol yang ada sekarang akan ditinggalkan dan sejumlah tokoh lama dipastikan kehilangan pamor.
Sebelum 1998, masyarakat Indonesia haus akan keadilan, keberanian, kemanusiaan, kesederhanaan. Kebutuhan ini dirasa banyak orang sehingga jadi daya yang bergerak mencari pemenuhannya. Tampaknya kebutuhan itu belum jua terpenuhi karena bobroknya sejumlah elite dan parpol. Ia cair dan terus bergerak di publik Indonesia.
Studi panjang Lembaga Survei Indonesia menunjukkan besarnya jumlah swing voter sejak Pemilu 1999 diselenggarakan. Besarnya angka swing voter atau yang belum menentukan pilihan tidak lepas dari proses transisi demokrasi membawa publik lebih kritis lagi. Publik memiliki kriteria verifikasi sendiri terhadap parpol saat ini.
Verifikasi pertama soal korupsi, hal yang paling berbahaya bagi demokrasi dan kepentingan publik. Perilaku korup yang dipraktikkan sifatnya lintas ideologi dan partai. Tak peduli berlandaskan marhaenisme, nasionalisme, kekaryaan, bahkan ideologi agama sekalipun. Publik jadi trauma dengan parpol dan terbangun opini yang menggeneraliasi: semua parpol korup, termasuk parpol baru yang tidak melakukan ”dosa” apa pun.
Banyak yang gembira melihat parpol baru berguguran, demi hasrat kuantitatif pengecilan jumlah parpol, tanpa sadar kelak mereka akan dihadapkan pada pilihan-pilihan lama yang terbukti ingkar janji. Padahal, kuasa rakyat adalah meninggalkan pilihan lamanya dan memberikan dukungan ke pilihan yang baru.
Verifikasi kedua, nilai demokratis yang dapat diatribusikan kepada suatu partai. Ciri khas demokrasi adalah kekuasaan dapat dikoreksi. Politik dinasti tentu bukan padanan yang pas dengan nilai demokrasi. Kebanyakan dari kita, dengan berbagai motif, diam-diam memakluminya.
Partai yang menghidupi nilai politik dinasti memiliki mistar keterbatasan. Kader terbaik tetap harus menunggu restu dari ketua umum. Jangankan anggota biasa, yang satu trah pun tidak dapat melampaui anak emas. Sementara di partai lain, anak ketua dewan pembina aktif menyampaikan opini pribadi, berkampanye kepemimpinan 2019 di ruang publik sampai lupa norma institusi di mana dia bekerja. Tak terdengar teguran dari atasannya.
Menyelamatkan republik