Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menata Kelompok Informal

Kompas.com - 12/11/2012, 03:09 WIB

Oleh  M PUTERI ROSALINA

Perekonomian Jakarta sebagai ibu kota negara tidak hanya bercerita tentang orang-orang yang berkecimpung dalam pekerjaan sektor formal, tetapi juga perjuangan ekonomi orang-orang di sektor informal. Pekerja sektor informal ini jumlahnya 30 persen dari total pekerja di Jakarta.

Termasuk dalam kelompok ini adalah pedagang kaki lima (PKL) yang usahanya dibayang-bayangi penggusuran. Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan Jakarta pada tahun 2010 mencatat jumlah PKL di Jakarta 92.000 pedagang. Diperkirakan, sampai tahun ini, jumlahnya meningkat tiga kali lipat, menjadi sekitar 300.000 PKL. Porsi terbanyak tersebar di Jakarta Selatan (26 persen).

Pedagang yang tidak mempunyai tempat berjualan secara legal paling banyak menempati badan jalan (31 persen) dan trotoar (28 persen). Tempat favorit PKL ini menimbulkan masalah. Selain merusak wajah kota, keberadaan PKL menyebabkan kemacetan, mengganggu pejalan kaki, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat.

PKL di depan Pasar Gembrong arah Casablanca, Pondok Bambu, salah satu contohnya. Pedagang mainan dan karpet menggunakan sebagian badan jalan untuk berjualan. Meski pernah ditertibkan petugas, pertengahan tahun 2011, tetap saja kembali ke pinggir jalan. Kemacetan di jalan tak terhindarkan.

PKL di kawasan kota tua lain lagi. Pedagang yang menjual makanan-minuman sampai pakaian memenuhi pelataran Museum Sejarah Jakarta, bahkan menutupi jalan masuk. Hal ini merusak perwajahan tempat wisata sejarah. Lingkungan menjadi kotor karena sampah berserakan.

Sudah tak terhitung upaya penanganan yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja DKI. Pembongkaran paksa lapak PKL paling sering dilakukan Satpol PP karena PKL dianggap melanggar Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 mengenai Ketertiban Umum.

Semua upaya tersebut nihil. Setelah petugas pergi dan membongkar lapak, sehari kemudian, pedagang berjualan lagi pada lokasi sama. Hal itu terus berulang sampai akhirnya petugas lelah dan tidak ada lagi anggaran untuk melakukan penertiban.

Sebenarnya, Pemprov DKI tak asal menggusur paksa. Lokasi sementara dan lokasi binaan telah disiapkan pada tempat yang tidak mengganggu ketertiban umum. Namun, sampai tahun 2009, baru tersedia 20 lokasi permanen yang hanya menampung sekitar 2.500 PKL (2,6 persen dari total PKL). Selain itu, bangunan lokasi binaan yang dibangun sejak tahun 1990 hingga 2000 itu kondisinya sudah rusak.

Tanpa menggusur

Sebenarnya, banyak yang bisa dipelajari dari kota lain yang cukup berhasil menata PKL tanpa menggusur atau menggunakan kekerasan dalam menertibkan PKL, seperti Kota Yogyakarta dan Solo. Upaya relokasi tetap dilakukan, tetapi dibarengi pendekatan komunikasi guna tercapai pemahaman yang sama di antara kedua belah pihak.

Dengan jumlah yang jauh lebih besar, bisakah menata PKL di Jakarta tanpa menggusurnya?

Joko Widodo sebagai gubernur baru DKI Jakarta menjanjikan PKL tidak akan digusur. Sebaliknya PKL akan ditata, dicarikan solusi, dan diberi fasilitas serta tidak ada pungutan. Hal tersebut untuk meningkatkan perekonomian rakyat dengan memberi ruang bagi PKL. Ruang bagi PKL yang dimaksud adalah membangun mal khusus untuk PKL serta merevitalisasi pasar tradisional.

Untuk mewujudkan obsesi tersebut, perlu dilakukan evaluasi terhadap semua upaya penanganan PKL yang selama ini dilakukan. Upaya relokasi memang harus dilakukan karena PKL berjualan pada tempat yang tidak semestinya. Sayang, upaya penertiban baru dilakukan setelah jumlah pedagang telanjur banyak, bukan masih sedikit. Penggusuran juga baru dilakukan ketika ada kepentingan meraih Adipura.

Berulangnya PKL kembali menempati lokasi sama meski telah dibongkar juga perlu dipahami dalam konteks relasi ekonomi dan dicarikan solusi. Ada alasan mengapa PKL bertahan di lokasi semula yang dilarang.

PKL terikat dengan pembeli yang menjadi sumber penghasilannya. Keterikatan tersebut membentuk kerumunan masyarakat yang lambat laun menciptakan pasar tersendiri. Jika pasar itu dibongkar, ketergantungan yang sudah tercipta terganggu. Pedagang pasti kembali ke tempat itu karena ada permintaan konsumen.

Lokasi pengganti bagi PKL yang telah dibangun juga sebaiknya ditinjau kembali. Kondisi lokasi binaan PKL sekarang ini jelek, jauh dari lokasi lama, bahkan tidak cukup strategis untuk berjualan karena sukar diakses pembeli. PKL juga dituntut membayar biaya sewa yang tinggi.

Penyediaan bangunan yang potensial sebagai lahan relokasi PKL akan mudah dilakukan jika tersedia dana dan investor. Akan tetapi, tidaklah mudah merelokasi PKL Jakarta yang sekarang sudah mapan berjualan pada tempat yang mengokupasi fasilitas umum, seperti jalan dan trotoar.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses komunikasi dan dialog yang akan dilakukan terhadap ratusan ribu PKL di Jakarta?

Sebagai perbandingan, dalam menata 1.000 PKL di Kota Solo, diperlukan 54 kali dialog dengan PKL, yang berarti butuh waktu lebih dari sebulan untuk mencapai kesepahaman. Di Jakarta ada sekitar 300.000 PKL yang tersebar di 215 lokasi. Barangkali dibutuhkan waktu sekurangnya tiga tahun untuk merelokasi semua PKL ke lokasi yang belum diketahui di mana.

Sementara itu, jika ingin meniru model penataan PKL di Kota Yogyakarta yang menggunakan insentif berupa uang, adakah tersedia anggaran untuk memberi insentif bagi PKL di Jakarta yang hendak dipindahkan?

Agaknya, memang butuh waktu, tenaga, dan dana yang tidak sedikit untuk menata kelompok informal yang turut mewarnai perekonomian Ibu Kota ini.

(M PUTERI ROSALINA/Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com