Kedua, membesarnya kelas menengah yang berkarakter pragmatis. Kelompok ini tidak menempatkan nilai-nilai ataupun ideologi sebagai preferensi utama dalam pilihan politiknya. Partisipasi politik kelas menengah-pragmatis sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan dan kepentingan ekonomi-politik individu maupun kelompoknya terhadap institusi politik. Sifat pilihan politik kelas menengah labil dan tak pasti. Masuk dalam kategori ini adalah kelas menengah Muslim yang lahir pada era Orde Baru.
Pasca-reformasi, kelas menengah Muslim mengalami santrinisasi sebagai dampak dari strategi santrinisasi pada ranah non-negara di era Soeharto. Ini dicirikan kuatnya gelombang ekspresi kesalehan dan atribusi keagamaan di ruang publik, termasuk media. Dalam konteks ini, partai-partai politik berhaluan nasionalis relatif memiliki kapabilitas institusional guna menerjemahkan dan meng-”kanalisasi” aspirasi politik kelas menengah, termasuk dari segmen Muslim-santri.
Membayangkan politik Indonesia pasca-Pemilu 2014 tanpa parpol Islam memang terlalu prematur. Namun, ancaman menyusutnya ceruk suara merupakan tantangan yang tak bisa dihindari. Parpol Islam tidak punya pilihan selain belajar dari para kompetitornya sembari melakukan otokritik dan keluar dari kungkungan ideologis. Daya tahan parpol Islam di pemilu nanti akan sangat ditentukan oleh sejauh mana mereka berani keluar dari beban ideologis-historis agar mampu merebut hati pemilih yang sedang berubah perilaku sosiologisnya, tidak terkecuali kelas menengah Muslim-santri.
Kini, semua partai politik dituntut bekerja efektif, proaktif dalam merespons dinamika perilaku pemilih, dan berorientasi pragmatis; berani keluar dari kesempitan ideologis demi terobosan-terobosan