Achmad menduga rendahnya minat itu karena adanya anggapan di sebagian masyarakat bahwa berkarya di kesenian dan kerajinan tidak membutuhkan pendidikan formal. Masyarakat dinilai belum memahami prospek atau peluang usaha kriya.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan Dominggus Helaha menambahkan, pihaknya sudah berkeliling ke SMP-SMP untuk sosialisasi jurusan kriya. Namun, pada akhirnya banyak yang memilih TKJ dan multimedia karena menuruti permintaan orangtua siswa yang menginginkan prospek pekerjaan yang lebih pasti.
Situasi itu, menurut Achmad, diperparah dengan tidak adanya asosiasi profesi bidang keahlian kriya di Maluku. Akibatnya, ia kesulitan mencari guru penilai uji kompetensi siswa. Bukan hanya itu, sekolah pun kemudian tidak mampu memberikan kompetensi tambahan atau jaminan keterserapan lulusan ke industri.
Jika tidak terserap industri, siswa didorong untuk berwirausaha. Namun, itu pun tetap membutuhkan modal usaha dan dukungan dari pemerintah
”Lulusan SMK ini siap pakai. Jika ini tidak dimanfaatkan terutama oleh pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi kekayaan kawasan Indonesia timur, semua akan sia-sia,” kata Achmad.