Untuk mengembangkan potensi kekayaan alam dan seni budaya yang melimpah di Maluku, terutama kayu dan motif ornamen, kriya kayu dan tekstil menjadi program keahlian pertama yang
Masyarakat setempat semakin mengenal berbagai karya
”Pesanan daun pintu, jendela, dan lemari dengan ornamen Maluku juga makin banyak sekarang. Ciri khas produk kami, selalu ada ornamen Maluku. Siswa bisa mengerjakan 40 pintu seperti itu dalam sebulan,” kata Agus Titioka, salah seorang guru kriya kayu.
Untuk mengasah keterampilan, awalnya siswa harus bisa membuat tempat lilin, kotak perhiasan, dan bangku dengan alat kerja manual, seperti ketam, pahat, dan gergaji. Baru kemudian saat di kelas XI, siswa mulai diperkenalkan dengan peralatan mesin, seperti bubut, alat serut, dan raut. Karena Maluku kaya hasil kayu, misalnya sonokeling, sekolah tidak pernah kesulitan memperoleh bahan baku.
Kepala SMKN 7 Ambon
Sebagai upaya meningkatkan kualitas dan kompetensi siswa dan guru, sekolah ini kerap mengundang praktisi dan ahli kriya dari Yogyakarta dan Bali untuk mengajar. Selain itu, sekolah pun kerap mengirim guru dan siswa untuk mempelajari karya kriya di Bali dan Yogyakarta. Untuk praktik kerja industri, sekolah sudah menjalin kerja sama dengan 66 industri.
Minat turun
Dalam dua tahun terakhir, peminat sekolah ini meningkat pesat. Bahkan, sekolah terpaksa menolak hingga 300 siswa karena keterbatasan daya tampung dan guru. Hanya saja, animo yang besar itu untuk teknik komputer jaringan dan multimedia. Apalagi setelah sekolah ini ditunjuk menjadi pusat perakitan komputer PC, laptop, dan proyektor digital untuk wilayah Maluku bekerja sama dengan perusahaan Zyrex.
Adapun jurusan kriya
Achmad menduga rendahnya minat itu karena adanya anggapan di sebagian masyarakat bahwa berkarya di kesenian dan kerajinan tidak membutuhkan pendidikan formal. Masyarakat dinilai belum memahami prospek atau peluang usaha kriya.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan Dominggus Helaha menambahkan, pihaknya sudah berkeliling ke SMP-SMP untuk sosialisasi jurusan kriya. Namun, pada akhirnya banyak yang memilih TKJ dan multimedia karena menuruti permintaan orangtua siswa yang menginginkan prospek pekerjaan yang lebih pasti.
Situasi itu, menurut Achmad, diperparah dengan tidak adanya asosiasi profesi bidang keahlian kriya di Maluku. Akibatnya, ia kesulitan mencari guru penilai uji kompetensi siswa. Bukan hanya itu, sekolah pun kemudian tidak mampu memberikan kompetensi tambahan atau jaminan keterserapan lulusan ke industri.
Jika tidak terserap industri, siswa didorong untuk berwirausaha. Namun, itu pun tetap membutuhkan modal usaha dan dukungan dari pemerintah
”Lulusan SMK ini siap pakai. Jika ini tidak dimanfaatkan terutama oleh pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi kekayaan kawasan Indonesia timur, semua akan sia-sia,” kata Achmad.