Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membunuh KPK

Kompas.com - 03/10/2012, 09:24 WIB

Oleh Febri Diansyah

Sebuah poster berukuran dua kali kertas kuarto, semuanya hitam. Hanya ada tiga kata warna putih dengan bercak merah. Tertulis, ”KPK Harus Mati”.

Hari-hari ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus diserang dari berbagai titik dan dengan eskalasi yang terus meningkat. Siapa yang paling keras melawan suatu komisi yang sedang memberantas korupsi? Pasti koruptor!

Upaya melemahkan institusi pemberantasan korupsi bukan hal baru. Di sini, lembaga negara yang bertugas melawan korupsi patah tumbuh hilang berganti. Tahun 1957 ada Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang bertugas mendata kekayaan pejabat saat itu. Paran kalah terhadap pembangkangan. Bahkan, orang- orang seperti AH Nasution, M Yamin, dan Roeslan Abdulgani pun tidak cukup kuat menghadapi resistensi para pejabat yang enggan melaporkan kekayaannya. Padahal, kewajaran kepemilikan kekayaan dibandingkan dengan penghasilan yang sah adalah salah satu alat mengukur korup atau tidaknya seorang pejabat negara.

Ada lagi Operasi Budhi tahun 1963, dipimpin AH Nasution. Dalam perjalanannya, fitnah terhadap personel lembaga ini berkembang hingga akhirnya dibentuk Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi). Meski Presiden Soekarno menjadi ketua dibantu Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani, upaya ini akhirnya stagnan juga.

Pada era Orde Baru, sejumlah lembaga antikorupsi berdiri. Ada Tim Pemberantasan Korupsi yang dipimpin Jaksa Agung, Komisi Empat, dan Operasi Tertib. Pada era Reformasi, kita masih ingat nasib Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang bubar ketika sedang mengusut dugaan suap sejumlah hakim agung. Sebuah putusan judicial review di Mahkamah Agung mematikan lembaga ini.

Kabarnya pidato Gus Dur di depan DPR dulu, terkait rencana penerbitan Perppu Pembuktian Terbalik, tidak disambut baik. Ada juga Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang kemudian dibubarkan dan dibentuklah KPK berdasarkan UU No 30/2002.

Revisi UU KPK

Saat ini tengah bergulir proses yang mungkin akan melumpuhkan KPK. Berselimut kewenangan legislasi, DPR menyusun rancangan undang-undang inisiatif DPR untuk merevisi UU No 30/ 2002 tentang KPK.

Berdasarkan berkas yang diperoleh Indonesia Corruption Watch (ICW) per Februari 2012, tersirat jelas keinginan untuk melumpuhkan KPK. Memang, kelembagaan KPK tetap ada, tetapi kewenangan penuntutan akan dipangkas dan proses penyadapan dipersulit.

ICW mencatat 19 pasal kontroversial dalam draf rancangan itu, enam di antaranya mengancam pemberantasan korupsi.

Pertama, mencabut kewenangan penuntutan KPK. Terdapat 15 bagian pasal yang mengandung unsur ”penuntutan” dihilangkan, mulai dari kewenangan KPK menuntut koruptor secara mandiri di pengadilan hingga kewenangan untuk sekadar menyupervisi proses penuntutan di kejaksaan.

Upaya memangkas kewenangan penuntutan ini ternyata tidak hanya terjadi dalam proses penyusunan draf RUU KPK. Sebelumnya, ketika RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibahas, ada politisi menyisipkan pasal yang menghilangkan kewenangan KPK menuntut di pengadilan tipikor.

Bersyukur saat itu publik tidak tertipu dan ada ketegasan dari Presiden agar kewenangan penuntutan KPK tetap. Hari ini, seharusnya sikap yang sama juga ditunjukkan jika kita masih ingin mempunyai KPK yang kuat, dengan kewenangan yang integratif mulai dari penyelidikan hingga penuntutan.

Selama ini, salah satu faktor yang membuat penanganan kasus korupsi berjalan lamban adalah proses bolak-balik perkara antara penyidik dan penuntut umum, bahkan terbuka peluang mengintervensi kejaksaan hingga bisa menghentikan penuntutan.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih Berkat Doa PKS Sahabat Kami

    Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih Berkat Doa PKS Sahabat Kami

    Nasional
    Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

    Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

    Nasional
    Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

    Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

    Nasional
    KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

    KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

    Nasional
    Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

    Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

    Nasional
    Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

    Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

    Nasional
    Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

    Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

    Nasional
    Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

    Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

    Nasional
    Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

    Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

    Nasional
    Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

    Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

    Nasional
    Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

    Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

    Nasional
    Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

    Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

    Nasional
    Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

    Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

    Nasional
    Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

    Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

    Nasional
    Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

    Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com