JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mengatakan, penangkapan dua hakim pengadilan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi harus menjadi bahan evaluasi keberadaan pengadilan tipikor di 33 provinsi. Pasalnya, sulit untuk mengontrol pengadilan tipikor di daerah.
"Dengan kejadian ini, saya kira sudah saatnya untuk dilakukan evaluasi kembali. Saya sebenarnya termasuk yang sangat setuju tipikor terpusat di Jakarta meskipun banyak yang menentang karena wilayah kita yang begitu luas," kata Amir di rumah dinasnya di Jakarta, Senin (20/8/2012).
Sebelumnya, KPK bekerja sama dengan Mahkamah Agung menangkap dua hakim ad hoc, yakni Kartini Juliana Magdalena Marpaung yang bertugas di Semarang dan hakim Heru Kisbandono yang bertugas di Pontianak. Mereka ditangkap seusai upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI dengan barang bukti uang tunai Rp 150 juta.
Amir menambahkan, penangkapan itu juga harus menjadi bahan evaluasi bagi proses seleksi hakim ad hoc. Proses seleksi dan pendidikan bagi hakim ad hoc, kata dia, tidak boleh dianggap remeh lantaran menyangkut pemberantasan korupsi ke depan.
"Seorang hakim karier saja untuk dapat menjadi hakim harus melalui pendidikan dengan jenjang karier panjang dan berliku. Oleh karena itu, seorang hakim tipikor enggak boleh instan. Kalau instan, hasil kinerja terkadang sangat jauh dari harapan," pungkas politisi Partai Demokrat itu.
Seperti diberitakan, operasi gabungan itu merupakan evaluasi terhadap pengadilan tipikor yang berusia setahun. Kartini adalah hakim ad hoc angkatan pertama yang direkrut pada 2009. Heru adalah hasil perekrutan hakim ad hoc angkatan ketiga yang ditempatkan di Pontianak. Kartini diketahui beberapa kali memberikan vonis bebas dalam kasus korupsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.