Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengacara Hartati: Penetapan Tersangka Tidak Valid

Kompas.com - 08/08/2012, 12:37 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Tim pengacara Siti Hartati Murdaya menilai penetapan kliennya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak valid dan tidak layak.

Hartati tidak tahu-menahu soal penyuapan ke Bupati Buol, Amran Batalipu, seperti dinyatakan tim pengacara Hartati melalui siaran pers yang diterima wartawan, Rabu (8/8/2012).

"Amat tidak relevan dan tidak valid jika ada seruan atau permintaan pihak-pihak yang meminta KPK untuk menetapkan Hartati Murdaya sebagai tersangka karena di satu sisi, yang bersangkutan tidak tahu dan tidak terlibat sama sekali dalam kasus ini dan di sisi lain, PT HIP adalah korban pemerasan," tulis siaran pers tersebut.

Tim pengacara Hartati terdiri dari Denny Kailimang, Tumbur Simanjuntak, Bambang Hartono, Patra M Zein, dan Yanti Nurdin.

KPK menetapkan Hartati sebagai tersangka atas dugaan menyuap Bupati Buol, Amran Batalipu. Selaku Presiden Direktur PT HIP dan PT CCM, Hartati diduga menyuap Amran terkait kepengurusan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit dua perusahaannya di Kabupaten Bukal, Kecamatan Buol, Sulawesi Tengah. KPK pun menetapkan Amran sebagai tersangka kasus ini.

Menurut tim pengacara Hartati, PT HIP hanyalah korban pemerasan. Berulang kali terjadi gangguan keamanan terkait operasi perusahaan dan gangguan lahan perkebunan milik perusahaan Hartati di Buol.

Menurut pengacara Hartati, Amran Batalipu memaksa dan berulang kali meminta PT HIP memberikan uang untuk kepentingan pribadinya menjelang Pemilihan Kepala Daerah 2012.

"Tidak benar ada perintah dari Hartati Murdaya kepada direksi dan/atau karyawan PT HIP untuk menyuap Amran Batalipu," bunyi siaran pers tersebut.

Menurut tim pengacaranya, Hartati tidak pernah mengundang Amran ke Jakarta seperti yang diungkapkan pengacara Amran, Amat Entedaim, beberapa waktu lalu. "Sebaliknya Amran Batalipu yang justru memaksa dan meminta-minta dapat bertemu Hartati Murdaya agar permintaan uang untuk kepentingan pribadinya dipenuhi," katanya.

Terkait penyidikan kasus ini, KPK sudah dua kali memeriksa Hartati. Saat itu, anggota dewan Pembina Partai Demokrat tersebut dimintai keterangan sebagai saksi untuk anak buahnya yang menjadi tersangka, Gondo Sudjono.

KPK menetapkan Gondo dan petinggi PT HIP lainnya, Yani Anshori, sebagai tersangka karena diduga ikut menyuap Amran. Keduanya tertangkap tangan sesaat setelah diduga memberi uang suap ke Amran.

Informasi dari KPK menyebutkan, pemberian suap ke Amran itu terjadi karena ada perintah dari Hartati ke Yani. Seusai diperiksa sebagai saksi, Hartati mengaku pernah dimintai uang Rp 3 miliar oleh Amran. Dari Rp 3 miliar yang diminta, baru Rp 1 miliar yang diberikan.

Hartati juga mengaku pernah berhubungan melalui telepon dengan Amran. Sementara Amran melalui pengacaranya, Amat Entedaim membantah memeras Hartati. Menurutnya, dua anak buah Hartati lah yang selalu berupaya melobi Amran.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    [POPULER NASIONAL] Eks Anak Buah SYL Beri Uang Tip untuk Paspampres | Ayah Gus Muhdlor Disebut dalam Sidang Korupsi

    [POPULER NASIONAL] Eks Anak Buah SYL Beri Uang Tip untuk Paspampres | Ayah Gus Muhdlor Disebut dalam Sidang Korupsi

    Nasional
    Ganjar: Saya Anggota Partai, Tak Akan Berhenti Berpolitik

    Ganjar: Saya Anggota Partai, Tak Akan Berhenti Berpolitik

    Nasional
    Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Nasional
    Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Nasional
    Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

    Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

    Nasional
    Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

    Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

    Nasional
    Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

    Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

    Nasional
    Ganjar Bubarkan TPN

    Ganjar Bubarkan TPN

    Nasional
    BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

    BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

    Nasional
    TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

    TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

    Nasional
    Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

    Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

    Nasional
    Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

    Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

    Nasional
    Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

    Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

    Nasional
    Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

    Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

    Nasional
    Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

    Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com