Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Renegosiasi Kontrak Freeport

Kompas.com - 02/08/2012, 02:55 WIB

Tak dicantumkannya hak kepemilikan negara/rakyat atas kekayaan bahan tambang mineral dan batubara menunjukkan tafsir atas Pasal 33 UUD 1945 yang dianut UU Minerba ini kelihatannya mengikuti pendapat yang, antara lain, dilontarkan Erman Rajagukguk, ahli hukum yang bekerja di Sekretariat Negara RI. Sekneg adalah instansi yang harus dilalui setiap RUU yang diajukan pemerintah ke DPR.

Erman kerap memberikan pernyataan bahwa kata ”dikuasai negara” atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya seperti yang tertulis dalam Pasal 33 UUD 1945 Ayat 3 bukan berarti ”dimiliki’” negara. ”Artinya, dikuasai oleh negara tetapi bukan dimiliki oleh negara,” katanya. Menurut hemat saya kalau kekayaan alam di perut bumi Indonesia dinyatakan sebagai bukan milik negara atau rakyat, atau status kepemilikannya disamarkan, di sini terjadi semacam kevakuman hukum atas status kepemilikan kekayaan alam yang sangat besar nilainya ini. Karena itu, kekayaan alam ini harus dinyatakan secara jelas pemiliknya, yakni negara/rakyat. Bukan orang per orang ataupun pemegang IUP atau KK.

Kekayaan alam berupa cadangan terbukti yang sudah disertifikatkan pada hakikatnya secara ekonomi merupakan aset/harta bernilai ekonomi tinggi yang bisa dilokalisasi, diukur, diidentifikasi, dimonetasi, diperdagangkan, dan bersifat bankable. Oleh karena itu, harus ada pemilik sah. Kalau UU Minerba tak secara jelas menyatakan status kepemilikan kekayaan tambang mineral dan batubara di perut bumi Indonesia atau sengaja disamarkan oleh pembuat UU, pasti ada pihak lain (investor/pemegang IUP) yang akan mengklaim sebagai miliknya. Dan ini terjadi, terbukti dari dimasukkannya cadangan bahan tambang di perut bumi sebagai aset dalam laporan keuangan perusahaan tambang seperti kasus BHP.

Mahkamah Konstitusi sebaiknya segera memberikan tafsiran yang jelas akan kata ”dikuasai” negara dalam Pasal 33 UUD 1945 atau sebaiknya UU Minerba segera dicabut, baik melalui uji materi di MK atau oleh presiden lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dengan alasan sangat urgen untuk menyelamatkan aset milik negara agar tak diklaim pihak lain. Hal ini mengikuti yurisprudensi PM Juanda mencabut Indische Mijnwet 1899 dengan perppu yang kemudian disahkan DPR menjadi UU No 30 Prp/1960 tentang Pertambangan.

Renegosiasi kontrak

Dalam kasus alotnya renegosiasi pemerintah dengan pemegang KK Freeport, sejatinya ini karena posisi legal pemerintah yang relatif lemah. Pasalnya, dalam rezim ”kontrak karya” yang berkontrak adalah pemerintah (pola B to G). Sama dengan rezim IUP dan rezim KKS di migas, pemerintah berhubungan langsung, tawar-menawar, dan berkontrak dengan investor/perusahaan tambang.

Pemerintah jadi bagian ”para pihak” yang berkontrak. Semua pasal dalam isi KK yang ditandatangani pemerintah dan pihak investor/Freeport untuk tambang di Papua 7 April 1967 baru bisa berubah kalau disetujui oleh kedua belah pihak.

Kalau salah satu pihak tak setuju mengubah bagian/pasal mana pun dari isi KK, perubahan tak pernah bisa terjadi! Pemerintah berkewajiban menghormati kesucian kontrak (sanctity of contract) meski di kemudian hari isi KK ternyata sangat merugikan Indonesia. Pasal yang menyangkut kewajiban Freeport membayar royalti emas hanya 1 persen juga harus dihormati pemerintah mengingat pemerintah sendiri yang menandatangani KK! Besaran royalti emas yang hanya 1 persen jelas sangat tak adil mengingat harga emas saat ini sekitar 1.600 dollar AS per troy once, relatif sangat tinggi dibanding harga emas saat KK ditandatangani tahun 1967 yang sekitar 200 dollar AS per troy once.

Faktanya, meski Pemerintah RI sudah mengeluarkan PP No 45/2003 pada 31 Juli 2003 yang menetapkan besaran royalti emas jadi 3,7 persen, kalau Freeport tak setuju, perubahan royalti tak pernah bisa terlaksana hingga hari ini! Pemerintah tak berdaya, kedaulatan negara RI dilecehkan/hilang dengan tak kunjung ditaatinya PP No 45/2003 yang sudah berlaku hampir 10 tahun! Dalam renegosiasi Freeport merasa berada di posisi kuat. Pemerintah tak bisa memaksa ubah kesepakatan KK, termasuk soal royalti, divestasi 51 persen, smelter, dan sebagainya.

Kasus Churchill dan KK Freeport bukti sangat jelas pengelolaan kekayaan tambang dan kekayaan migas dengan UU Migas No 22/2001 yang menerapkan pola B to G sangat merugikan negara, secara finansial dan kedaulatan negara. Sebenarnya, Indonesia pernah berpeluang keluar dari kungkungan rezim KK Freeport di Papua atau setidaknya memperbaiki besaran royalti dengan tak memperpanjang KK Jilid I yang berakhir 1991. Namun, di bawah pemerintahan Soeharto dengan Menteri Pertambangan dan Energi Ginanjar Kartasasmita, KK diperpanjang hingga 2021, antara lain dengan alasan Freeport butuh kepastian investasi jangka panjang dalam mengembangkan cadangan Grasberg yang ditemukan 1988.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com