Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Catatan Galau Seorang Wakil Rakyat

Kompas.com - 29/07/2012, 03:38 WIB

Stanley Adi Prasetyo

• Judul buku: Negeri Mafia, Republik Para Koruptor: Menggugat Peran DPR Reformasi • Penulis: Benny K Harman • Penerbit: Lamalera • Cetakan: I, 2012 • Tebal: xviii + 535 hal • ISBN: 978-979-25-4838-3

Kejatuhan rezim Soeharto sudah hampir 14 tahun, tetapi ternyata perang melawan korupsi belum selesai. Persoalan korupsi di negeri ini bila diibaratkan sebagai penyakit sudah kronis dan laten. Penelusuran bentuk-bentuk awal perkembangan korupsi serta kolusi dan nepotisme ternyata merupakan bagian sejarah panjang bangsa ini.

Di zaman Orde Baru, negara sepenuhnya dikuasai oleh rezim penguasa, sedangkan masyarakat sipil diletakkan di luar wilayah nation. Kekayaan hutan dan tambang bumi dikuras habis untuk menghidupi para kroni kekuasaan.

Di era itu, Soeharto membagi-bagikan kemurahan hatinya kepada semua orang yang mau mengabdi kepadanya. Inilah awal munculnya fenomena kapitalisme kroni di mana Soeharto secara perlahan berhasil memunculkan diri sebagai penjaga stabilitas. Dalam stabilitas ini dia menggerakkan ekonomi Indonesia melalui slogan yang dikenal sebagai Trilogi Pembangunan.

Terjadi ”keajaiban ekonomi” yang membuat Indonesia dipuji oleh Bank Dunia dan akan menjadi ”macan Asia”. Hal ini membuat orang percaya bahwa ada hubungan erat antara stabilitas dan sukses ekonomi. Inilah salah satu warisan penting Soeharto: kekuasaan oligarkis dan birokratis.

Ketika Soeharto mundur pada 21 Mei 1998, orang pun bernapas lega, percaya bahwa inilah akhir dari zaman gelap dan awal dari zaman terang. Banyak orang mengira bahwa lengsernya Soeharto akan sekaligus membersihkan Indonesia dari kroni-kroninya untuk selama-lamanya. Ternyata perkiraan ini meleset. Soeharto memang jatuh, tetapi kroni-kroninya tidak, malah menjelma menjadi bandit pengembara (roving bandits), yaitu mereka yang menikmati kekuasaan politik dengan hasil korupsi dan suap (hal 2).

Bantuan IMF untuk mengatasi krisis finansial Indonesia mensyaratkan adanya pasar bebas dan perdagangan bebas secara radikal. Negara harus benar-benar menyingkir dari ekonomi. Aneka monopoli diperintahkan oleh IMF untuk dibubarkan sehingga kompetisi menjadi lebih nyata. Berbarengan dengan itu juga diterapkan sistem multipartai dengan pemilihan umum dan disusul dengan sistem otonomi daerah (provinsi dan kota ataupun kabupaten).

Sistem ”demokrasi prosedural” ini pada dasarnya membebaskan rakyat Indonesia dari cengkeraman kekuasaan otoriter Soeharto, tetapi sekaligus juga menciptakan banyak aktor dalam perpolitikan Indonesia.

Pada era reformasi ini, praktik korupsi berayun dari pusat kekuasaan dan birokrasi ke parlemen (hal 172-183). Salah satu penyebabnya adalah karena demokrasi menganut pola pasar di mana para politisi dan partainya menjual produk mereka pada saat pemilu dan para pemilih membelinya. Karena demokrasi itu seperti pasar, para politisi merasa telah selesai tugasnya pada saat dia telah memperoleh kursi (eksekutif ataupun legislatif). Memang mereka harus mempertanggungjawabkan kepada konstituen, tetapi mereka tidak peduli dengan konstituen karena tahu akan sulit bagi mereka untuk terpilih kedua kalinya.

”Sarang” dan ”surga koruptor”

Pemberlakuan otonomi daerah sejak 1999 memberi sumbangan signifikan bagi meluasnya roving bandits ini (hal 134-136). Semua politisi—di tingkat nasional, tetapi lebih-lebih di tingkat daerah—sadar bahwa kesempatan mereka untuk terus duduk di kursinya hanya sekali itu karena sistem demokrasi yang menuntut rotasi. Jangan kaget bila ada banyak politisi mengeruk keuntungan finansial sebesar mungkin ketimbang memanfaatkan masa baktinya untuk berkarya secara optimal. Parlemen Indonesia menjelma menjadi ”sarang koruptor”. Yang lebih parah, pengadilan juga disebut sebagai ”surga koruptor”. Para jaksa dan hakim seolah tidak berdaya menghadapi situasi.

Korupsi memang berkaitan dengan operasi atau praktik kekuasaan yang buruk yang memiliki kontrol dan pengawasan yang efektif. Korupsi bisa dirumuskan sebagai sebuah monopoli kekuasaan ditambah keleluasaan kewenangan minus akuntabilitas dan minus transparansi dalam pengambilan keputusan.

Isi buku ini merupakan tinjauan ke belakang berkaitan dengan pusat-pusat kekuasaan politik negara Orde Baru yang beroperasi dengan berbagai praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Buku ini menggambarkan dengan detail relasi politik, bisnis, dan birokrasi yang telah membentuk konfigurasi kekuatan mereka dalam suatu jaringan patronase negara. Di satu sisi penguasa dan birokrat-politik membutuhkan kroni-kroni bisnis untuk menjalankan program pembangunan ekonomi sesuai dengan kepentingan patronase mereka. Di sisi lain kroni-kroni bisnis tersebut bergantung pada penyediaan sumber-sumber ekonomi dan perlindungan dari penguasa dan birokrat-politik.

Buku ini dengan gamblang membedah praktik korupsi di level negara, baik selama di bawah Orde Baru maupun di era reformasi. Dari berbagai elemennya, seperti rezim politik dan pemerintah, parlemen, kehakiman dan penegak hukum, militer, serta kementerian dan birokrasi, dapat dipetakan bagaimana mereka mengoperasikan penyimpangan kekuasaan, melakukan korupsi, menjadikannya sebagai kebiasaan, serta mempertahankan kondisi-kondisi yang menguntungkan mereka. Mereka membentuk budaya dan perilaku tidak punya rasa malu dan tidak mau mundur dari jabatannya meski ketahuan melakukan korupsi.

Buku ini ditulis oleh Ketua Komisi III DPR yang juga menjadi Wakil Presiden South East Asian Parliamentarians Against Corruption (SEAPAC), yaitu organisasi parlemen se-Asia Tenggara dan Selatan untuk pemberantasan korupsi atas kegalauannya dalam melihat perkembangan negara Republik Indonesia yang terus digerogoti oleh berbagai masalah korupsi.

Selain itu, buku ini juga merupakan bagian dari kegelisahan si penulis atas pertanyaan sejumlah kalangan mengenai peran anggota DPR dalam membangun sistem pemberantasan korupsi. Juga untuk menjawab teka-teki berkaitan dengan banyaknya anggota DPR tersangkut kasus korupsi. Sungguh sebuah karya dan usaha yang patut diacungi jempol.

Stanley Adi Prasetyo, Wakil Ketua I Komnas HAM

 *** 

• Judul buku: Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneurship dalam Pendidikan Nasional • Penulis: HAR Tilaar • Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Juni 2012 • Tebal: xviii+238 halaman • ISBN: 978-979-709-653-3

Kreativitas dan entrepreneurship (kewiraswastaan) merupakan tuntutan mutlak dalam era globalisasi yang serba cepat. Dunia telah menjadi satu kampung besar di mana pengaruh positif dan negatif beradu. Perubahan wajah dunia akibat globalisasi menuntut solusi proses pendidikan pedagogik kritis agar manusia tidak tercabut dari sapuan gelombang globalisasi yang maha dahsyat. Metode ini menanamkan jargon the power of difference, yakni sikap kritis untuk berani berbeda, yang merupakan landasan dari kreativitas dan kewiraswastaan.

Pendidikan tradisional saat ini berlawanan dengan pedagogik kritis. Sistem pendidikan, proses pendidikan, dan kurikulum disusun tidak berdasar kebutuhan peserta didik, tetapi untuk kepentingan politik orang dewasa. Di Indonesia, nuansa politik dalam pendidikan sangat terasa. Sejak merdeka, berbagai jenis kurikulum berubah seiring pergantian menteri. Pada dasarnya kurikulum tersebut sama saja, memukul rata peserta didik di seluruh pelosok Nusantara dengan tolak ukur ujian nasional. Kurikulum bukan lagi diarahkan kepada kehidupan, tetapi diarahkan kepada selembar ijazah sebagai legitimasi keberhasilan di masyarakat. Sistem pendidikan sentralistis akan mematikan kemampuan kreativitas peserta didik.

Pada era global, sosok entrepreneur (wiraswasta) menjadi idaman output pendidikan. Lembaga pendidikan alternatif pun muncul di Tanah Air. Dengan kurikulum khusus dalam pengembangan kewiraswastaan, lembaga-lembaga baru ini siap mengejar defisit wiraswasta di Indonesia. Sebuah negara maju sekurang-kurangnya memiliki dua persen dari jumlah penduduknya, sementara di negara kita baru tersedia sekitar 0,8 persen.(IGP/LITBANG KOMPAS)

***

• Judul: The Social Media Sales Revolution • Penulis: Landy Chase & Kevin Knebl • Penerbit: McGraw Hill, 2011 • Tebal: xvi+240 halaman • ISBN: 978-0-07-176850-4

Dunia maya telah mengubah cara orang berkomunikasi. Pada dekade terakhir, internet menjadi media tumpuan untuk menggali dan bertukar informasi. Dalam praktik bisnis, keunggulan telepon untuk menjaring dan menjerat pelanggan pun meredup. Posisinya digantikan oleh jejaring komunikasi sosial yang lebih ampuh mendekati target pasar, membangun relasi, dan meningkatkan penjualan. Masa depan penjualan bergantung pada LinkedIn, Twitter, Facebook, dan blog.

Semua perusahaan yang tercakup pada Fortune 500 menggunakan LinkedIn sebagai instrumen bisnis. Media ini tidak hanya memperluas jaringan, tetapi juga menjanjikan untuk mendekati target. Profil yang diunggah bisa difungsikan sebagai sarana pemasaran. Demikian juga dengan mengamati profil anggota LinkedIn, yang rata-rata berusia 43 tahun dan berpenghasilan 107.000 dollar AS per tahun, terbuka informasi dan peluang untuk kepentingan dagang. Usia pengguna Twitter lebih muda. Meski sangat populer di kalangan remaja, golongan usia 35-45 tahun tumbuh pesat. Sebagai pengirim pesan pendek yang mendunia, setiap obrolan menarik selalu mengundang tanggapan dan menimbulkan efek berantai yang dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan misi bisnis. Fenomena Facebook beda lagi. Inilah komunitas online terbesar di dunia dengan lebih dari 500 juta anggota. Media ini menyediakan bantuan sehingga iklan hanya terfokus pada pasar yang disasar. Fasilitas seleksi yang diberikan memungkinkan efisiensi iklan dan promosi.

Ketiga sarana itu dapat ditautkan dengan blog yang merupakan saluran mengekspresikan diri melalui tulisan, termasuk gagasan untuk menawarkan suatu produk. Media sosial adalah masa depan pengembangan bisnis. Strategi pemasaran dan metode berjualan melalui komunikasi tertulis harus ditingkatkan dengan mengindahkan kode etik dan tata cara berbahasa yang menghormati penerimanya. (THA/Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com