Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lahan Telantar Berpotensi Rugikan Negara

Kompas.com - 23/07/2012, 04:59 WIB

Jakarta, Kompas - Konflik agraria yang merebak di beberapa daerah menunjukkan karut-marut penguasaan tanah. Pemanfaatan tanah tanpa izin dan sesuai peruntukan, berpotensi rugikan negara.

Agustinus Karlo Lumban Raja dari Sawit Watch, Sabtu (21/7), di Jakarta, mencontohkan, data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2009 menunjukkan, 8,5 juta tanah berstatus telantar. Artinya, tanah digunakan tidak sesuai peruntukan.

Setelah diverifikasi ulang, tahun 2010, hanya 3,5 juta hektar yang dinyatakan sesuai perizinan dan peruntukan. Sebagian tanah dinyatakan telantar pemanfaatannya tak sesuai izin. Hal ini terjadi di seluruh Indonesia.

Ia mengutip data BPN, sebuah perusahaan yang bersengketa dengan warga di Ogan Ilir, Sumatera Selatan, ternyata hanya punya izin hak guna usaha (HGU) 6.500 hektar dari 20.000 hektar lahan yang dikuasai.

”Bagaimana bisa perusahaan memanfaatkan lahan sebelum izin HGU keluar. Kalau tidak ada HGU, kan tidak kena pajak. Yang rugi negara,” kata dia.

Isu itu telah dilaporkan beberapa LSM ke Komisi Pemberantasan Korupsi awal Juli lalu. Mereka juga memberi masukan ke Badan Pemeriksa Keuangan. Mereka meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan melakukan penelusuran.

Deddy Ratih, Manajer Kampanye Kehutanan dan Perkebunan Besar Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), mengatakan, kerugian negara akibat pemanfaatan lahan tak sesuai izin sedang dihitung. Walhi mendesak agar pemerintah mengembalikan izin HGU yang habis dan lahan yang bermasalah kepada rakyat.

Ia mengatakan, saat ini ada 72 juta petani dengan lahan di bawah 0,3 hektar. Di sisi lain, lahan seluas 9 juta hektar dikuasai 20 perusahaan besar.

Sementara itu, Jaringan Advokasi Tambang mencatat sejak Oktober 2011 terjadi berbagai konflik pertambangan di Indonesia yang menyebabkan 5 orang tewas dan 94 orang dikriminalisasi. Kasus serupa terus terjadi. Presiden diminta memerintahkan jajarannya untuk mengaudit perizinan dan dampak pertambangan bagi warga.

Andrie S Wijaya, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Sabtu, menyatakan, penolakan kehadiran pertambangan oleh masyarakat kerap ditanggapi dengan pendekatan keamanan. ”Korbannya adalah rakyat yang berusaha melindungi tanah, lingkungan, dan penghidupannya,” ujarnya.

Jatam merinci, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kurang aktif mengkaji izin usaha pertambangan (IUP) bermasalah. Jatam mencatat ada 10.235 IUP belum ditertibkan. (ICH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com