Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Denyut Toleransi di Kota Wali

Kompas.com - 21/07/2012, 02:49 WIB

Pola interaksi sosial antarwarga yang berbeda suku, agama, ras, dan golongan merujuk pada keraton dengan Sunan Gunung Jati sebagai simbol. Terjadi pula zonasi tempat tinggal yang alamiah di antara dua komunitas besar pendatang, yakni Tionghoa dan Arab, dengan keraton sebagai sentral.

Komunitas Tionghoa tinggal di pecinan yang dekat dengan keraton. Pecinan berada di daerah Lemahwungkuk, tempat pertama kali Kerajaan Pakungwati (sekitar tahun 1430) didirikan Pangeran Walangsungsang, putra mahkota Kerajaan Padjadjaran sekaligus paman Syarif Hidayatullah dari garis keturunan Sunda.

Lebih jauh ke utara-barat, sekitar 1,5 kilometer dari keraton, ada Kauman, yakni kampung keturunan Arab di sekitar Masjid Panjunan. Masjid ini dibangun oleh Syekh Abdurrahman dari Baghdad, Irak, tahun 1480.

Kholid bin Zou (62), tokoh keturunan Arab, menuturkan, sebagian besar orang Arab di kota itu berasal dari Yaman. Ada juga dari Arab Saudi, tetapi jumlahnya sedikit. Mereka merantau ke Cirebon lantaran kondisi di negaranya serba sulit.

”Ayah saya tiba di Cirebon tahun 1917. Ketika itu Kesultanan Cirebon masih kuat. Keluarga kami sering diundang keraton untuk mengikuti berbagai acara,” kenang Kholid menirukan cerita ayahnya yang memiliki 12 anak. Semua anak Zou lahir di Cirebon, tetapi cuma Kholid yang bertahan di kota kelahirannya. ”Ibu yang asli Tegal mencegah saya berangkat ke Yaman,” katanya.

Umumnya, keturunan Arab generasi pertama, seperti ayah Kholid, membuka usaha pertenunan kain sarung dan berdagang hasil bumi. Keturunan mereka menyebar di Kecamatan Kejaksan dan Lemahwungkuk. Kini mereka banyak memiliki toko di Jalan Panjunan dan Kolektoran.

Keharmonisan Arab-Tionghoa itu juga masih bisa ditemui dari rumah bergaya Hokkian yang tersisa di daerah Panjunan. Sedikitnya ada lima rumah bergaya Hokkian di Kauman, dicirikan dengan atap melengkung, banyak jendela di loteng, dan pintu di bawah untuk berdagang.

Dalam hubungan dengan kelompok yang terlebih dahulu ada di Cirebon, seperti warga Sunda dan Jawa, Sunan Gunung Jati tidak membeda-bedakan perlakuan. Bahkan, untuk urusan penyebaran agama dan penyelesaian konflik, dia yang adalah salah satu penyebar Islam di Jawa mengutamakan cara damai sesuai adat setempat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com