Rini Kustiasih
Tidak susah mengenali Tjiang Kwa. Parasnya ayu dan putih di usianya yang senja, mudah ditemukan di antara pelanggan yang pada sore pekan lalu membeli pepesan buatannya. ”
Perempuan yang murah senyum ini bersukacita menceritakan Cirebon, tanah kelahirannya. Menurut Tjiang Kwa, warga kotanya terbuka, tak usil, dan bertoleransi tinggi. ”Dengan tetangga sekitar, saya tak pernah bertengkar hanya karena saya keturunan Tionghoa. Semua tidak ada bedanya,” ujarnya.
Tjiang Kwa tinggal di Kampung Purwasari, Kelurahan Pulasaren, sekitar 1 kilometer arah barat dari Keraton Kasepuhan Cirebon. Tak jauh dari sana ada Jalan Petratean dan Pekalipan sebagai pusat perdagangan hasil bumi. Kebanyakan pedagang keturunan Tionghoa.
Kehangatan relasi sosial, seperti dirasakan Tjiang Kwa, sejatinya dibangun sejak abad ke-14 oleh Syarif Hidayatullah yang juga dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Melalui dialog kebudayaan, Gunung Jati mengakomodasi tradisi lama dengan napas keislaman yang damai dan percaya diri. Seperti diterangkan R Achmad Opan Safari Hasyim, pengajar Sejarah Peradaban Islam di Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati, Cirebon, yang meneliti naskah kuno dan
Opan mencatat, dalam
Kompleks keraton, kini ada tiga keraton di Cirebon, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, serta satu perguruan Kaprabonan, pun kaya akulturasi budaya. Bangunan Siti Inggil di Kasepuhan dan Kanoman, misalnya, mengadopsi gerbang berupa bangunan berundak dari Hindu. Tembok dihiasi keramik dari China. Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Kasepuhan juga dibangun dengan atap limasan dan pintu gerbang menyerupai pura berwarna merah.
Saat Belanda masuk ke Cirebon pada abad ke-16, unsur Kristen mewarnai peradaban Kota Wali. Ruang Prabayaksa di Keraton Kasepuhan, misalnya, dindingnya dihiasi porselen Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Setiap keramik menggambarkan cerita nabi dalam Injil Perjanjian Lama.