Sebagai ormas sosial keagamaan yang landasannya keislaman dan keindonesiaan, Muhammadiyah perlu mengembangkan budaya lokal, menjaga kedaulatan budaya bangsa, menumbuh-kembangkan kebebasan berpikir dan berekspresi dengan tetap dalam bingkai keimanan.
Yang dapat mengubah keadaan tentu saja adalah pimpinan dan warga Muhammadiyah. Pernyataan ini adalah ekspresi otokritik terhadap keringnya kajian dan aktivitas kebudayaan di tubuh Muhammadiyah.
Kerja kebudayaan dapat mengekspresikan zaman sekaligus dapat mengkritik zaman. Kebudayaan berkembang seiring perubahan zaman. Namun, hal ini tak mesti meniadakan ”ibu kebudayaan” bangsa ini. Sejalan dengan spirit teologi al-Maun yang sering disuarakan Kang Moeslim, gerakan kebudayaan Muhammadiyah hendaknya mampu membebaskan dan memberikan pencerahan kepada rakyat dan adat yang tertindas.
Selain itu, gerakan kebudayaan Muhammadiyah juga hendaknya menjadi pembela moralitas ketika kesadaran elite dan kesadaran rakyat kian menurun akibat sempitnya nurani solidaritas. Hal ini menjadi penting terutama karena sebagian anggota legislatif ataupun pejabat eksekutif telah menjadikan kebudayaan sebagai alat legitimasi kepentingan golongannya.
Muhammadiyah juga berkewajiban melapangkan ruang
Akhirnya, diperlukan peran strategis kebudayaan Muhammadiyah sebagai tenda kultural yang meliputi kesadaran untuk mengakui dan menghormati seni dan budaya sebagai tulang punggung peradaban bangsa.
DAVID KRISNA ALKA Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity dan