Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menakar Otonomi Khusus Aceh dan Papua

Kompas.com - 03/07/2012, 04:08 WIB

Otsus Aceh menemukan titik ideal dalam UUPA 11/2006 setelah sempat berusaha menemukan pola sejak awal Reformasi melalui Tap MPR IV/1999, yang diwujudkan dalam UU 18/2001. Pada pelaksanaan UU sebelumnya, otsus Aceh tak berjalan dengan baik karena konflik bersenjata masih tinggi dan masalah identitas belum tuntas. Ini terasa sangat berbeda dengan pelaksanaan UUPA yang disepakati semua pihak. Sekitar 87 persen kesepakatan dalam MoU Helsinki tercantum dalam UUPA dengan beberapa penyesuaian.

Keberhasilan terbesar pelaksanaan otsus Aceh adalah transformasi kekuatan GAM ke dalam struktur pemerintahan modern dalam NKRI. Seluruh elemen sepakat, UUPA adalah titik pijak menciptakan Aceh yang sejahtera. Tak ada lagi yang menginginkan kondisi sebelum UUPA.

Pertarungan politik yang terjadi di Aceh antarfaksi yang semula bersatu di bawah GAM adalah gejala wajar, seperti juga terjadi di provinsi lain. Kisah sukses pilkada gubernur Aceh menunjukkan bahwa terjadi proses yang baik dari masyarakat konflik ke masyarakat demokratis. Pertarungan tak lagi dilakukan di gunung dengan senjata di bahu, tetapi melalui bilik suara.

Dari sisi wewenang, pemerintah pusat lalai memberi PP yang menjadi turunan UUPA, terutama terkait pengelolaan sumber daya. Rakyat Aceh menunggu PP tentang Badan Pertanahan Nasional Aceh yang menjadi bagian dari Pemerintah Aceh yang berbeda dengan provinsi lain. PP yang seharusnya diterbitkan pada 2008 sampai sekarang belum ada drafnya. Isu lain yang ditunggu terkait dengan migas dan kehutanan. Muncul kesan kuat, otsus yang dijanjikan mirip dengan kepala dilepas, ekor tetap dipegang. Terganggulah upaya percepatan kesejahteraan.

Dari sisi kelembagaan, pembentukan yang memfasilitasi hidupnya kembali lembaga adat dan lembaga syariah telah meredam cukup signifikan masalah di tingkat rakyat. Lembaga adat mulai dari tingkat gampong sampai provinsi, meski tak memiliki hak veto dalam politik lokal, telah mampu jadi penasihat penting dalam pembangunan berkesejahteraan. Salah satu ganjalan hanyalah posisi Wali Nanggroe yang merupakan lembaga yang muncul pada saat konflik.

Dana otsus yang telah diberikan kepada Aceh dalam empat tahun terakhir untuk beberapa hal telah digunakan meningkatkan kesejahteraan. Setiap tahun pemerintah Aceh menganggarkan sekitar Rp 400 miliar untuk menjamin seluruh penduduk Aceh memiliki KTP dan KK Aceh dalam skema asuransi. Ini langkah maju dalam sistem kesehatan nasional yang selama ini didasarkan pada pola residu dan bukan universal.

Dana otsus juga telah membantu ribuan anak korban konflik dan pelajar Aceh mengenyam pendidikan gratis melalui skema beasiswa di dalam dan luar negeri. Meski demikian, pengelolaan dana otsus Aceh masih dibarengi dengan lemahnya kapasitas ”memerintah” pemerintah Aceh. Ini terlihat dari tingginya anggaran yang tak dipakai: sekitar Rp 1 triliun per tahun akibat buruknya relasi provinsi-kabupaten/ kota dalam pengelolaan dana otsus.

Di tengah kekurangan itu, secara umum otsus Aceh telah mengarah kepada penciptaan kesejahteraan. Dengan mekanisme pengawasan yang lebih tertata dan keseriusan mengelola asimetrisme lewat regulasi yang lebih teknis, Aceh tak butuh waktu lama bersaing dengan provinsi lain di Indonesia.

Papua dan kesuraman

Cerita untuk otsus Papua masih buram. Tak pernah ada kejelasan tentang desain besar otsus Papua. Kebijakan yang muncul setelah otsus justru membuat jalan mencapai otsus kian jauh. Terakhir, pemerintah membentuk UP4B yang diklaim Julian Pasya (Kompas, 28/6/2012) sebagai upaya pendekatan kesejahteraan bagi penyelesaian persoalan Papua. Jika benar demikian, mengapa Kepala UP4B seorang jenderal? Selain itu, saban ada persoalan di Papua, mengapa Menko Polhukam, Kapolri, dan BIN yang dikirim ke Papua? Mengapa bukan Menko Kesra, Mendikbud, atau Menkes?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com