Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pancasila, Persepsi, dan Kekerasan

Kompas.com - 18/05/2012, 02:24 WIB

MUSAASY’ ARIE

Ketika firman Tuhan diturunkan melalui seseorang yang dipilih-Nya, kemudian diikuti sekelompok orang dalam kehidupan masyarakat, firman itu melembaga menjadi agama. Ia kemudian berkembang menjadi institusi sosial yang hidupnya bertumpu pada kekuatan solidaritas sosial para pemeluknya.

Pada saat telah menjadi institusi sosial, agama dengan sendirinya melibatkan diri dalam dinamika pluralitas, konflik, dan perubahan yang terus-menerus. Akibatnya, agama sebagai institusi sosial terlibat dalam konflik kepentingan politik dan kekuasa a n yang sering kali mengambil bentuk kekerasan, baik secara internal dalam kehidupan agamanya sendiri maupun secara eksternal dalam kehidupan berbagai agama yang ada dalam masyarakat.

Karena itu, dalam kehidupan masyarakat yang diwarnai kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan yang tajam, radikalisme keagamaan sebenarnya muncul sebagai wujud solidaritas sosial melawan kesenjangan ekonomi dan politik yang ada. Di sinilah kemutlakan agama dijadikan landasan melakukan perlawanan sosial terhadap kesenjangan ekonomi dan politik yang memicu kekerasan sosial.

Teologi dan kekerasan

Tuhan fundamental dalam kehidupan agama. Agama tanpa Tuhan bukan agama lagi, tapi Tuhan bukan agama itu sendiri karena Tuhan tak pernah beragama yang mana pun. Tuhan menjadi sumber agama yang mana pun juga.

Dalam konteks kebertuhanan, peran persepsi sangat besar karena setiap orang yang beragama akan selalu memersepsikan Tuhannya yang jadi sandaran agama yang dianut. Jikalau persepsi orang itu berbeda-beda tentang Tuhan, apakah bisa diartikan bahwa Tuhan itu berbeda-beda dan, dengan demikian, dapatkah dikatakan bahwa apakah Tuhan itu banyak?

Meski suatu keniscayaan, persepsi sebenarnya relatif karena sangat subyektif: tergantung dari mana melihatnya dan kapan. Persepsi seseorang terhadap realitas bukanlah realitas itu sendiri. Hanya realitas artifisial yang dikonstruksikan. Maka, ada dua realitas: realitas itu sendiri yang otonom dan realitas yang dibangun dalam persepsi seseorang terhadap realitas.

Dalam realitas kehidupan sosial keagamaan, persepsi tentang Tuhan itu telah menjadi realitas fenomenal yang meluas. Setiap orang beragama dan komunitas agama memersepsikan Tuhannya sendiri-sendiri. Akibatnya, persepsi tentang Tuhannya berbeda- beda. Nama Tuhannya bisa sama, tetapi isi kesadaran yang dibentuk oleh persepsinya tentang Tuhan sebenarnya berbeda satu sama lain.

Adanya persepsi tentang Tuhan boleh dan sangat wajar. Namun, menganggap bahwa persepsinya tentang Tuhan itu patut dipertanyakan kebenarannya. Tuhan sesungguhnya berbeda dengan Tuhan yang dipersepsikannya. Persepsi tentang Tuhan bukan Tuhan karena sesungguhnya Tuhan itu tak terbatas, sedangkan persepsi bersifat terbatas. Keterbatasan persepsi seseorang membuat keterbatasan mengonstruksi ketidakterbatasan menjadi terbatas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com