Jakarta, Kompas -
Nama pertama yang dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) itu adalah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. KPK menjerat Nazaruddin dengan UU itu dalam kasus pembelian saham PT Garuda Indonesia.
Tak lama berselang, KPK juga menetapkan mantan anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Wa Ode Nurhayati, sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang. Wa Ode dijerat dengan UU ini sebab diduga menyimpan uang sejumlah Rp 10 miliar yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Kamis (26/4), mengakui, saat ini ada upaya KPK memiskinkan koruptor. KPK sengaja menjerat tersangka korupsi dengan dua UU sekaligus, yakni UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) serta UU TPPU.
Johan mengatakan, ada perbedaan signifikan dalam penggunaan dua UU ini. ”Kalau dalam UU Tipikor terdakwa disuruh mengganti apa yang ada dalam sangkaan. Dengan UU TPPU, jika kami menemukan banyak harta koruptor yang tak bisa dijelaskan, ketentuan ini bisa digunakan untuk menyitanya. UU TPPU bisa memiskinkan koruptor, tidak hanya merampas uang negara sesuai yang disangkakan dalam UU Tipikor,” kata Johan.
Saat ditanya kenapa KPK baru kini menggunakan UU TPPU untuk menjerat tersangka korupsi, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, ”KPK melakukan yang terbaik. Semampu yang dikerjakan. KPK harus yakin dengan yang dilakukannya.”
Langkah KPK memakai UU TPPU ini diapresiasi Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso. Ia menyebutkan, PPATK akan menjadi lembaga yang memasok data transaksi keuangan mencurigakan, dari mereka yang diduga korupsi, kepada penegak hukum, termasuk KPK. (bil)