Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Encok Pak Raden Hilang Saat Bercerita

Kompas.com - 17/04/2012, 01:46 WIB

”Lukisan ini tidak akan saya jual kecuali kondisi kepepet banget,” ucap anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini.

Sambil menunjuk ke lukisan perkelahian antara Srikandhi dan Mustokoweni, Pak Raden menjelaskan tentang kesulitannya saat melukis Srikandhi hendak memanah Mustokoweni. ”Kalau posisi seorang pria memanah itu jelas. Namun, kalau dalam budaya Jawa, posisi memanah seorang perempuan lebih sulit digambarkan. Gara-gara ini, lukisan itu saya selesaikan sekitar dua bulan,” ujarnya.

Pak Raden lalu beralih ke lukisan berikutnya, lukisan tentang suasana di ruang rias perempuan dari sela pintu. Ia mengatakan, ruang rias ini adalah bagian dari bangunan pertunjukan wayang orang Tritunggal di Kosambi, Bandung, Jawa Barat, yang terletak di gang sempit.

”Kalau banjir, mereka tidak bisa tampil karena bangunannya terendam air. Para penari berias di ruang itu dengan penerangan lampu minyak,” kata pria yang pernah belajar animasi di Perancis pada 1961-1963 itu.

Tiba-tiba Pak Raden terdiam. Kedua matanya berkaca-kaca. Setitik air keluar dari sudut kelopak kiri mata Pak Raden. ”Sedih saya kalau mengingat betapa terseok-seoknya nasib para pejuang budaya adiluhung itu,” ucapnya pendek.

Pak Raden pun mengaku, semua lukisan tentang pertunjukan wayang orang itu bersumber pada pengalamannya melihat keseharian di sekitar bangunan pertunjukan wayang Tritunggal di Kosambi.

Dengan tangan kiri bergetar, ia lalu menunjuk lukisan karyanya tentang ”Sinta Obong”. Lukisan itu mengambil sudut dari balik panggung sebelah kiri.

Saat Sinta kembali diboyong menghadap Rama, menurut Pak Raden, Rama mungkuri (membalikkan badan, membelakangi) Sinta yang bersimpuh di hadapan Rama. Melihat hal itu, Sinta menangis. Dengan posisi masih membelakangi Sinta, Rama berkata, ”Kalau kamu memang masih suci, kamu harus keramas (mencuci rambut) dengan api.”

Dengan hati terpukul, Sinta lari melompat ke dalam api. ”Duh… sedihnya cerita ini. Berat, ya, jadi seorang istri dari pria Jawa,” kata Pak Raden. Ia diam dan menunduk. Matanya kembali berkaca-kaca.

Bagaimana tentang beberapa gender dan slenthem di rumah ini, Pak Suyadi? Dengan malas Pak Raden menjawab, ”Itu sudah masa lalu saya. Saya berhenti belajar menabuh gender dan slenthem setelah guru karawitan saya meninggal.”

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com