Ketujuh, lanjut Wahyudi, terkait Pasal 34 yang member kewenangan kepada bupati atau walikota untuk mengerahkan kekuatan TNI melalui forum koordinasi terkait konflik sosial di lingkup daerah.
Menurut Wahyudi, kewenangan gubernur atau bupati dalam pasal ini bertentangan dengan Pasal 7 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia. UU TNI tersebut menyebutkan, otoritas sipil di suatu daerah (gubernur/bupati) tidak mungkin mengerakan TNI. Penggerakan TNI, katanya, hanya bisa dilakukan dengan keputusan presiden yang telah disetujui DPR.
"Bukan seenaknya dilakukan oleh pimpinan daerah. Ketentuan ini juga tidak sejalan dengan Pasal 10 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah, yang tidak mendelegasikan urusan keamanan kepada daerah. Urusan keamanan adalah mutlak kewenangan pemerintah pusat," ujar Wahyudi.
Kedelapan, terkait Pasal 38. Wahyudi mengatakan, pendekatan rekonsiliatoris tentu tidak cukup sebagai penyelesai konflik, tanpa adanya suatu proses penegakan hukum. Sekedar permaafan dalam penyelesaian konflik, katanya, tentu akan mempersempit hak atas keadilan yang seharusnya bisa dinikmati.
"Selain itu, mekanisme restitusi yang diatur di dalam undang-undang juga tidak tepat, karena restitusi diberikan oleh pelaku kepada korban melalui sebuah mekanisme peradilan, bukan diberikan oleh negara kepada korban. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain mengenai hak korban yang sudah ada, seperti UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban," papar Wahyudi.
Kesembilan, soal Satuan Tugas Penyelesaian Konflik yang diatur dalam Pasal 43 hingga 53. Menurut Wahyudi, keberadaan satgas ini akan bermasalah dalam implementasinya karena tidak menempatkan unsur-unsur lembaga Negara sesuai dengan kewenangannya. Misalnya, dengan melibatkan TNI atau Polri dalam Satgas Penyelesaian Konflik. Pasalnya, TNI dan Polri justru kerap berkonflik dengan masyarakat. "Pelibatan TNI dan Polri yang justru pelaku konflik itu sendiri, jadi lucu kalau mereka dimasukkan dalam satgas," ucap Wahyudi.
Kemudian, soal pelibatan Komnas HAM di dalam satgas ini. Hal tersebut, katanya, tidak sejalan dengan kewenangan, tugas pokok dan fungsi Komnas HAM, yang seharusnya independen. "Ketika Komnas HAM dimasukkan, mandat mereka yang utama mau dikemanakan? Sudah menjadi tugas Komnas HAM melakikan penyelidikan jika ada indikasi pelanggaran HAM," katanya.
Adapun pembahasan RUU Penanganan Konflik Sosial oleh Pansus DPR saat ini telah memasuki tahap akhir dan rencananya akan segera disahkan menjadi Undang-undang dalam sidang paripurna tanggal 10 April 2012.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.