Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sembilan Poin RUU Konflik Sosial yang Dinilai Bermasalah

Kompas.com - 08/04/2012, 21:27 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembagan Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) meminta Dewan Perwakilan Rakyat menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial (RUU PKS). Elsam menilai, proses penyusunan draft RUU tersebut minim partisipasi masyarakat.

Selain itu, menurut Elsam, ada sejumlah pasal dalam RUU yang bermasalah serta berpotensi merugikan hak-hak warga negara. "Dari catatan kami, ada sembilan poin penting yang bermasalah," kata peneliti Elsam, Wahyudi Djafar dalam diskusi bertajuk "Sesat Pikir RUU Penanganan Konflik Sosial" di Jakarta, Minggu (8/4/2012).

Poin bermasalah yang pertama, kata Wahyudi, terkait konsiderannya. RUU PKS ini, katanya, lebih menekankan penggunaan mekanisme pembatasan hak asasi manusia ketimbang menekankan pada kewajiban negara dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia.

Hal tersebut menjadi bermasalah mengingat penyebab utama terjadinya konflik sosial, menurut Wahyudi, adalah tidak terpenuhinya hak asasi seseorang. "RUU ini melupakan peraturan perundang-undangan yang dimandatkan untuk mencegah terjadinya suatu konflik dengan jalan pemenuhan hak asasi," ungkapnya.

Kedua, lanjut Wahyudi, terkait Pasal 3 dalam RUU tersebut. Wahyudi mengatakan, ketertiban dan Kepastian Hukum menjadi salah satu pilar utama dalam penanganan konflik, namun RUU ini justru melupakan pentingnya mekanisme penegakan hukum di dalam penyelesaian konflik. "Padahal seperti dicatat Elsam, problem utama berlarut-larutnya konflik adalah sebagai akibat ketiadaan mekanisme hukum yang fair dan adil," ujarnya.

Ketiga, terkait Pasal 6 yang tidak memberikan penjelasan detil dan terperinci mengenai batasan-batasan masalah yang dapat menjadi pemicu konflik sosial. "Setiap hal bisa dianggap sumber konflik mulai dari politik, agama, tanpa ada rumusan yang jelas. Tidak ada batas-batas apa yang dianggap sumber konflik sosial, demo kemudian bisa direpresikan dengan kekuatan militer," paparnya.

Hal tersebut, lanjut Wahyudi, tidak sejalan dengan Pasal 5 huruf (f) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menghendaki adanya kejelasan rumusan di dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Keempat, terkait Pasal 13 dalam RUU PKS tersebut. Berdasarkan pasal itu, katanya, tidak ada kejelasan mekanisme hukum yang digunakan dalam penetapan status konflik. "Apakah masih menggunakan mekanisme tertib sipil atau sudah menggunakan status darurat sipil?" ujarnya.

Mekanisme hukum dalam penetapan status konflik tersebut dinilai penting karena akan menentukan kewenangan masing-masing pemilik otoritas, baik sipil maupun militer. Kelima, terkait Pasal 17 yang memunculkan istilah "Forum Koordinasi Pimpinan Daerah" yang tidak pernah dijelaskan pengertianna pada bagian awal undang-undang tersebut. Dikhawatirkan, forum itu sifatnya sama dengan Muspida pada zaman orde baru, yang keberadaannya tidak lagi diakui.

Keenam, terkait Pasal 27 yang mengatur pembebasan sipil. Menurutnya, pembatasan dalam bentuk apapun, termasuk pembatasan kebebasan sipil, khususnya kebebasan untuk bergerak haruslah sejalan dengan prinsip-prinsip pembatasan hak asasi manusia. Artinya, pembatasan hak asasi tidak boleh dilakukan oleh otoritas yang tidak berwenang, tanpa adanya suatu keputusan dan aturan yang legal.

Ketujuh, lanjut Wahyudi, terkait Pasal 34 yang member kewenangan kepada bupati atau walikota untuk mengerahkan kekuatan TNI melalui forum koordinasi terkait konflik sosial di lingkup daerah.

Menurut Wahyudi, kewenangan gubernur atau bupati dalam pasal ini bertentangan dengan Pasal 7 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia. UU TNI tersebut menyebutkan, otoritas sipil di suatu daerah (gubernur/bupati) tidak mungkin mengerakan TNI. Penggerakan TNI, katanya, hanya bisa dilakukan dengan keputusan presiden yang telah disetujui DPR.

"Bukan seenaknya dilakukan oleh pimpinan daerah. Ketentuan ini juga tidak sejalan dengan Pasal 10 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah, yang tidak mendelegasikan urusan keamanan kepada daerah. Urusan keamanan adalah mutlak kewenangan pemerintah pusat," ujar Wahyudi.

Kedelapan, terkait Pasal 38. Wahyudi mengatakan, pendekatan rekonsiliatoris tentu tidak cukup sebagai penyelesai konflik, tanpa adanya suatu proses penegakan hukum. Sekedar permaafan dalam penyelesaian konflik, katanya, tentu akan mempersempit hak atas keadilan yang seharusnya bisa dinikmati.

"Selain itu, mekanisme restitusi yang diatur di dalam undang-undang juga tidak tepat, karena restitusi diberikan oleh pelaku kepada korban melalui sebuah mekanisme peradilan, bukan diberikan oleh negara kepada korban. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain mengenai hak korban yang sudah ada, seperti UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban," papar Wahyudi.

Kesembilan, soal Satuan Tugas Penyelesaian Konflik yang diatur dalam Pasal 43 hingga 53. Menurut Wahyudi, keberadaan satgas ini akan bermasalah dalam implementasinya karena tidak menempatkan unsur-unsur lembaga Negara sesuai dengan kewenangannya. Misalnya, dengan melibatkan TNI atau Polri dalam Satgas Penyelesaian Konflik. Pasalnya, TNI dan Polri justru kerap berkonflik dengan masyarakat. "Pelibatan TNI dan Polri yang justru pelaku konflik itu sendiri, jadi lucu kalau mereka dimasukkan dalam satgas," ucap Wahyudi.

Kemudian, soal pelibatan Komnas HAM di dalam satgas ini. Hal tersebut, katanya, tidak sejalan dengan kewenangan, tugas pokok dan fungsi Komnas HAM, yang seharusnya independen. "Ketika Komnas HAM dimasukkan, mandat mereka yang utama mau dikemanakan? Sudah menjadi tugas Komnas HAM melakikan penyelidikan jika ada indikasi pelanggaran HAM," katanya.

Adapun pembahasan RUU Penanganan Konflik Sosial oleh Pansus DPR saat ini telah memasuki tahap akhir dan rencananya akan segera disahkan menjadi Undang-undang dalam sidang paripurna tanggal 10 April 2012.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo', Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Sebut Jokowi Kader "Mbalelo", Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com