Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema SBY untuk Mendepak PKS

Kompas.com - 04/04/2012, 10:58 WIB
Maria Natalia

Penulis

KOMPAS.com - Wacana mengenai dikeluarkannya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari Sekretariat Gabungan (Sergab) Parpol Pendukung Pemerintah kian gencar dilontarkan para elite Setgab maupun politisi Partai Demokrat.

Sejak menolak mendukung kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), PKS memang disebut sebagai pembangkang koalisi oleh Partai Demokrat.

Namun, PKS sendiri menunggu putusan diceraikan dari koalisi langsung dari bibir Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden tampaknya belum bergeming mengeluarkan pendapatnya soal posisi PKS di setgab. Mengapa demikian?

Menurut Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi, wacana PKS didepak dari koalisi hanya angin lalu jika bukan Presiden yang memutuskan secara langsung. Menurutnya SBY diam saat ini karena masih mempertimbangkan.

"Kita harus menunggu yah nasib PKS ini dari patronnya langsung, Pak SBY sebagai ketuanya. Terus terang yang saya baca sekarang ada semacam dilema Pak SBY untuk mendepak PKS," ujar Burhanuddin dalam perbincangannya dengan Kompas.com, Jakarta, Rabu (4/4/2012).

Burhanuddin memandang SBY belum memutuskan karena jika PKS dikeluarkan dari koalisi justru akan memberikan kesempatan pada partai itu untuk melakukan pencitraan di mata masyarakat. PKS akan dianggap teraniaya hanya karena memilih opsi menolak kenaikan harga BBM, yang juga ditolak oleh masyarakat.

"Nah kalau misalnya muncul kesan PKS teraniaya, itu bisnis kapitalisasi PKS untuk kepentingan pencitraan. Ini yang dihindari oleh SBY," tuturnya.

Berpaling sebentar sebelum isu kenaikan harga BBM ini bergulir, kata Burhanuddin, ancang-ancang PKS keluar koalisi ini sudah ada sejak Presiden mencopot menteri PKS, Suharna Surapranata yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi.

"Reshuffle terhadap salah satu menteri di PKS, Suharna, saat itu sudah muncul pernyataan-pernyataan dari PKS untuk keluar dari koalisi. Tetapi saat itu, kalau mereka keluar gara-gara reshuffle dikurangi satu dari jatah 4 menteri yang ada, itu kesan di publik kolokan banget. Makanya ini mungkin dianggap waktu yang tepat oleh PKS untuk keluar," kata dia.

Namun, Burhanuddin mengatakan baik SBY maupun elite Setgab jangan berharap PKS akan dengan mudah angkat kaki dari koalisi tanpa disuruh terlebih dahulu. PKS tentu memiliki pertimbangan sendiri, karena dalam dunia politik tidak ada keikhlasan untuk merebut atau melepas kekuasaan.

"Masyarakat kita kan melankolis gitu ya, melodramatic. Nah PKS menunggu dikeluarkan. Jadi seolah-olah menjadi korban. Kalau disuruh mengundurkan diri seperti permintaan dari Syarief hHsan, sampai kiamat juga PKS enggak bakal mau mengundurkan diri," tuturnya.

Burhanuddin menilai SBY tahu, bahwa PKS tak semudah itu mengundurkan diri. Oleh karena itu SBY menempuh strategi menyudutkan PKS dengan mewajarkan elite Setgab dan sejumlah politisi Demokrat, melemparkan sindiran-sindiran maut untuk menyudutkan PKS, yang dianggap pengkhianat. Harapannya, PKS akan berinisiatif mundur teratur tanpa diminta.

Selain itu, sinyal lain yang ditunjukkan SBY adalah tidak membalas surat dari PKS mengenai penolakan mereka terhadap kenaikan harga bbm. Tak hanya itu, dalam dalam Rapat Setgab malam tadi, Selasa (3/4/2012), tak ada kehadiran elit PKS. Ini, kata dia, semacam kondisi yang dibuat agar PKS sadar betul bahwa kehadirannya dalam koalisi mulai tak diharapkan.

"Itu semacam pengkondisian agar PKS tidak merasa nyaman dalam koalisi. Itu bukan baru terjadi sekarang saja. Misalnya ada isu yang saya dengar, bahwa jauh-jauh sebelumnya Ketua Majelis Syuro PKS ingin bertemu dengan SBY, tapi SBY enggak mau menemui," terang Burhanuddin.

Kini semua tergantung SBY. Selama posisi tiga menteri PKS dalam kabinet seperti Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri, Menteri Pertanian Suswono, serta Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring tak dicopot oleh Presiden maka, PKS masih berada dalam koalisi.

"Selama menteri 3 menteri PKS yang tersisa tidak ditarik SBY, maka dalam logika presidensial, berarti PKS masih dalam Setgab, di atas kertas masih mendukung koalisi. Masalahnya adalah SBY punya keberanian atau tidak untuk mengambil keputusan?" pungkas Burhanuddin.

Apa yang Terjadi jika PKS Ditalak Koalisi?

Dilema Presiden SBY masih berbuntut panjang jika PKS dilepaskan dari kontrak koalisi. Menurut Burhanuddin yang juga peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI), PKS sangat dibutuhkan pemerintah dalam mendapatkan dukungan di DPR.

Jika PKS ditendang, Partai Golkar, tutur Burhanuddin, memiliki daya tawar tinggi dalam koalisi untuk menggantikannya. Saat ini Golkar memang menurutnya tampak melejit dan punya kans mendapat nilai tambah untuk jatah kursi menteri menggantikan PKS jika dikeluarkan dari koalisi.

Di sisi lain, ini membawa bencana kecil bagi pemerintah. Hal itu karena dalam beberapa kasus. Golkar cukup berseberangan dengan Pemerintah yaitu dalam kasus Century, di mana nama Presiden disebut-sebut terlibat dan masalah moratorium remisi koruptor.

Partai Demokrat tidak bisa hanya mengandalkan PAN, PPP, PKB di parlemen. Sebab gabungan antara demokrat dengan ketiga partai itu, jika total di atas kertas kekuatan politiknya hanya mencapai 46 persen.

"Ke depan ini kan ada banyak persoalan terkait misalnya dalam hak menyatakan pendapat kasus Century. Saat yang sama Golkar dan PKS kalau kita merujuk di sidang paripurna Century itu di opsi C. Misalnya PKS dikeluarkan dan Golkar pada dasarnya menuntut Century di tuntaskan, baik secara umum maupun politik, selesailah itu. Bisa bahaya kan di DPR," jelas Burhanuddin.

Sama halnya ketika Pemerintah dihadapkan dengan moratorium remisi koruptor. "Kasus moratorium remisi yang akan dibawa ke interpelasi. Itu kan Golkar menuntut ada interpelasi. Sementara PKS mendukung pemerintah untuk moratorium. Bahaya lagi. Jadi banyak hal yang sebenarnya membuat SBY bimbang, berpikir lagi," katanya.

Belum lagi masalah politik lain yang terjadi jika PKS keluar. Menurutnya, PKS bisa bergerak melawan pemerintah setelah dikeluarkan, karena LSI sendiri memandang PKS memiliki basis massa kelas menengah ke atas yang kritis dalam berpikir.

"Nah kalau SBY keluarkan PKS itu justru akan menguatkan dukungan internal PKS. Pertama dikhawatirkan PKS malah tambah besar di luar. Aksi-aksi massa yang digalang PKS akan muncul dan banyak kekhawatiran lainnya," kata dia.

Jika tidak dikeluarkan pun, ada dilema yang muncul dalam Setgab partai koalisi. SBY akan dianggap pilih kasih jika PKS tidak diberikan sanksi atas penolakannya terhadap kebijakan pemerintah.

"Ini bisa dituntut oleh elite Demokrat dan elite koalisi agar SBY memberi reward dan punishment. Partai yang partai loyal akan menuntut. Apa gunanya loyal terhadap pemrintah jika tidak ada insentifnya. Enggak ada reward-nya. Yang tidak loyal mendapatkan keuntungan citra positif di mata publik, tetapi tidak di hukum sama SBY," ujarnya.

Kalau tak segera memutuskan, maka langkah PKS ini akan ditiru partai koalisi lainnya. Apalagi, kini partai loyal dalam koalisi tengah berharap curahan jatah kursi menteri jika PKS didepak.

"Lama-kelamaan bisa partai loyal meniru langkah PKS. Jadi saat ini kebimbangan SBY kemudian dimanfaatkan PKS tanda kutip menantang SBY berani enggak mengeluarkan PKS dari koalisi. Kalau berani keluarin aja," ucapnya.

Hanya Tuhan dan SBY yang Tahu

Akankah SBY segera mengambil keputusan penting atas posisi PKS di koalisi. Burhanuddin menjawab, tak ada yang pasti dalam kebimbangan SBY ini. Keputusan dalam politik harus mengambil resiko. Kini kata dia, SBY yang paling tahu, resiko mana yang paling minimal jika PKS hengkang.

"Memang sekarang ditanya, mungkin hanya SBY dan Tuhan yang tahu akhirnya SBY depak PKS atau tidak. Karena jangankan saya. Mungkin orang terdekat SBY pun saya kira dalam posisi tak tahu secara pasti langkah apa yang akhirnya ditempuh SBY," kata Burhanuddin.

Menurutnya, SBY, harus segera mengambil keputusan, karena rakyat mulai muak dengan sinetron dan drama politik koalisi ini. Kemuakan masyarakat ini bahkan telah muncul sejak pemerintahan SBY Jilid II. Jadi Silakan SBY bersikap.

"Ambil keputusan dan jangan pernah lihat ke belakang, terutama putusan yang diambil terkait PKS dan soliditas koalisi. Pertimbangkan kemuakan masyarakat terhadap drama politik dari elit koalisi yang lebih banyak berbicara soal tarik-menarik kekuasaan. Ambil keputusan sekarang untuk kepentingan publik," pungkas Burhanuddin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

    Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

    Nasional
    Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang 'Hoaks'

    Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang "Hoaks"

    Nasional
    Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok 'Kepedasan' di Level 2

    Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok "Kepedasan" di Level 2

    Nasional
    Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

    Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

    Nasional
    Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

    Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

    Nasional
    Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

    Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

    Nasional
    May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

    May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

    Nasional
    Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

    Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

    Nasional
    Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran 'Game Online' Mengandung Kekerasan

    Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran "Game Online" Mengandung Kekerasan

    Nasional
    Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi 'May Day', Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

    Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi "May Day", Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

    Nasional
    Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi 'May Day' di Istana

    Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi "May Day" di Istana

    Nasional
    Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

    Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

    Nasional
    Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

    Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

    Nasional
    Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

    Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

    Nasional
    Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

    Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com