Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Yogyakarta untuk Indonesia

Kompas.com - 29/03/2012, 01:56 WIB

Menurut pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, AAGN Ari Dwipayana, keputusan itu memperlihatkan visi revolusioner HB IX. Mewarisi syarat untuk menjadi negara sendiri, seperti wilayah, pemerintahan, rakyat, dan pasukan, tetapi Keraton Yogyakarta justru memilih kepentingan yang lebih besar, yaitu bangsa Indonesia.

”Ketika kerajaan lain di Nusantara bergeming dengan kekuasaan tradisional, Keraton Yogyakarta menyerap gelombang demokrasi dan nasionalisme. Padahal, dengan bergabung dalam pemerintahan RI, kekuasaan provinsi terbatas dan berada di bawah Presiden,” katanya.

Ketika ibu kota RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946, Yogyakarta menyangga kehadiran RI sebagai negara baru yang belum memiliki legitimasi kuat. Hanya Yogyakarta yang memiliki persyaratan sebagai sebuah negara, yaitu wilayah yang berdaulat, pemerintahan, dan warga.

Menurut Ketua Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Budi Subanar, semua itu mendasari pemindahan pemerintahan ke kota itu. ”Di Yogyakarta itulah sesungguhnya balita (bayi di bawah lima tahun) negara RI tumbuh,” katanya.

Sultan HB IX bahkan menyumbangkan dana kepada Pemerintah RI. ”Jumlahnya mungkin 6 juta gulden. Itu merupakan the first capital (modal dasar) bagi pemerintahan saat itu,” kata Budi, sambil mengutip pernyataan sejarawan Hadinoto.

Sejarawan dari UGM, Djoko Suryo, menyatakan, Yogyakarta dipandang sebagai tempat yang secara moral dan material siap menjadi pusat pemerintahan. Yogyakarta, sebelumnya berdiri sebagai negara tersendiri, punya sarana-prasarana pemerintahan, seperti kantor dan rumah tinggal presiden beserta keluarga.

”Waktu itu RI baru lima bulan berdiri sebagai sebuah negara, belum sempat menyusun keuangan, belum ada pajak yang dihasilkan, dan masih mulai dari nol. HB IX menyiapkan segala kebutuhan negara di Gedung Agung, bahkan sampai barang pecah belah,” katanya.

Atas jasa-jasa itu, Pemerintah RI mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Yogyakarta menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan kepala daerah dan wakilnya dijabat Sultan HB IX dan Paku Alam VIII.

Ketokohan HB IX, yang berpendidikan Belanda, berjiwa nasionalis, dan demokratis, memantapkan posisinya hingga ke peta politik nasional. Selain jadi Gubernur DIY (1945-1988), Sultan HB IX beberapa kali dipercaya sebagai menteri pada masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Presiden Soeharto menjadikannya sebagai wakil presiden pada periode 1973-1978.

Spirit serupa diwarisi Sultan HB X meski dalam konteks berbeda. Pertengahan Mei 1998, Sultan bersama Paku Alam VIII berpidato di depan hampir sejuta rakyat di Pagelaran Keraton Yogyakarta dan mengeluarkan maklumat penting. ”Adalah panggilan sejarah jika sekarang segenap komponen rakyat Yogyakarta tampil mendukung Gerakan Reformasi Nasional. Dalam situasi seperti ini, tidak ada pilihan lain kecuali memihak rakyat,” katanya (Kompas, 21 Mei 1998).

HB X pun menjadi salah satu tokoh reformasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com