Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Yogyakarta untuk Indonesia

Kompas.com - 29/03/2012, 01:56 WIB

Aloysius B Kurniawan, Thomas Pudjo Widijanto, dan Ilham Khoiri

Daerah Istimewa Yogyakarta punya sejarah panjang melewati berbagai ketegangan politik. Bermula dari Kerajaan Mataram Jawa, wilayah itu tumbuh sebagai basis perjuangan melawan kolonialisme Belanda, lantas bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1945 sebagai daerah istimewa. Demokratisasi kembali menciptakan ketegangan lain bagi wilayah ini.

Awalnya adalah Kerajaan Mataram di Jawa yang hampir menguasai Nusantara pada zaman keemasan Sultan Agung (1613-1645). Akibat konflik internal, kerajaan itu dibelah menjadi dua wilayah lewat Perjanjian Gianti tahun 1755: Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Sejak itu, kekuasaan Mataram terpecah dalam kerajaan kecil. Di Yogyakarta ada Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Di Surakarta ada Keraton Surakarta dan Puro Mangkunegaran.

Meski menjadi kerajaan kecil, Keraton Yogyakarta berandil besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. Raja pertamanya, Pangeran Mangkubumi, yang bergelar Sultan Hamengku Buwono (HB) I (1749-1792), getol membangun kerajaan yang mandiri dari pengaruh kolonial Belanda. Perjuangan berdarah-darah kemudian digerakkan Pangeran Diponegoro, cucu HB I, melalui pemberontakan besar yang dikenal sebagai Perang Jawa (1825-1830).

Menurut Peter Carey dalam buku Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855, perlawanan itu bukan didasari perebutan takhta kerajaan, yang selalu dimainkan kolonialisme, tetapi untuk membela rakyat yang tertindas. Perang terlama dan berharga mahal itu menewaskan lebih dari 7.000 orang pasukan Diponegoro dan sekitar 8.000 orang pasukan Belanda.

Perang Diponegoro menggambarkan kesadaran mendalam Yogyakarta untuk Nusantara pada masa itu. Meski berangsur reda setelah penangkapan Diponegoro, api perlawanan itu terus menyala.

Pergerakan nasional

Selama masa pergerakan nasional, Yogyakarta menjadi salah satu pusat bersemainya kesadaran kebangsaan. Di kota ini lahir Boedi Oetomo (1908), deklarasi Sumpah Pemuda (1928), dan organisasi massa besar Islam, Muhammadiyah (1912). Semua itu turut mendorong kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan Soekarno dan Mohammad Hatta di Jakarta, 17 Agustus 1945.

Tak lama kemudian, Sultan HB IX dan Paku Alam VIII menerbitkan Amanat 5 September 1945: kerajaannya menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini peristiwa penting. Pemerintahan gung binatoro (negara besar), yang dibangun berdarah-darah oleh Sultan Agung, menggabungkan diri ke dalam pemerintahan baru bernama RI, yang waktu itu belum jelas statusnya.

Menurut pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, AAGN Ari Dwipayana, keputusan itu memperlihatkan visi revolusioner HB IX. Mewarisi syarat untuk menjadi negara sendiri, seperti wilayah, pemerintahan, rakyat, dan pasukan, tetapi Keraton Yogyakarta justru memilih kepentingan yang lebih besar, yaitu bangsa Indonesia.

”Ketika kerajaan lain di Nusantara bergeming dengan kekuasaan tradisional, Keraton Yogyakarta menyerap gelombang demokrasi dan nasionalisme. Padahal, dengan bergabung dalam pemerintahan RI, kekuasaan provinsi terbatas dan berada di bawah Presiden,” katanya.

Ketika ibu kota RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946, Yogyakarta menyangga kehadiran RI sebagai negara baru yang belum memiliki legitimasi kuat. Hanya Yogyakarta yang memiliki persyaratan sebagai sebuah negara, yaitu wilayah yang berdaulat, pemerintahan, dan warga.

Menurut Ketua Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Budi Subanar, semua itu mendasari pemindahan pemerintahan ke kota itu. ”Di Yogyakarta itulah sesungguhnya balita (bayi di bawah lima tahun) negara RI tumbuh,” katanya.

Sultan HB IX bahkan menyumbangkan dana kepada Pemerintah RI. ”Jumlahnya mungkin 6 juta gulden. Itu merupakan the first capital (modal dasar) bagi pemerintahan saat itu,” kata Budi, sambil mengutip pernyataan sejarawan Hadinoto.

Sejarawan dari UGM, Djoko Suryo, menyatakan, Yogyakarta dipandang sebagai tempat yang secara moral dan material siap menjadi pusat pemerintahan. Yogyakarta, sebelumnya berdiri sebagai negara tersendiri, punya sarana-prasarana pemerintahan, seperti kantor dan rumah tinggal presiden beserta keluarga.

”Waktu itu RI baru lima bulan berdiri sebagai sebuah negara, belum sempat menyusun keuangan, belum ada pajak yang dihasilkan, dan masih mulai dari nol. HB IX menyiapkan segala kebutuhan negara di Gedung Agung, bahkan sampai barang pecah belah,” katanya.

Atas jasa-jasa itu, Pemerintah RI mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Yogyakarta menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan kepala daerah dan wakilnya dijabat Sultan HB IX dan Paku Alam VIII.

Ketokohan HB IX, yang berpendidikan Belanda, berjiwa nasionalis, dan demokratis, memantapkan posisinya hingga ke peta politik nasional. Selain jadi Gubernur DIY (1945-1988), Sultan HB IX beberapa kali dipercaya sebagai menteri pada masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Presiden Soeharto menjadikannya sebagai wakil presiden pada periode 1973-1978.

Spirit serupa diwarisi Sultan HB X meski dalam konteks berbeda. Pertengahan Mei 1998, Sultan bersama Paku Alam VIII berpidato di depan hampir sejuta rakyat di Pagelaran Keraton Yogyakarta dan mengeluarkan maklumat penting. ”Adalah panggilan sejarah jika sekarang segenap komponen rakyat Yogyakarta tampil mendukung Gerakan Reformasi Nasional. Dalam situasi seperti ini, tidak ada pilihan lain kecuali memihak rakyat,” katanya (Kompas, 21 Mei 1998).

HB X pun menjadi salah satu tokoh reformasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com