Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ICW Duga Ada "Mark Up" dalam Subsidi BBM

Kompas.com - 28/03/2012, 15:56 WIB
Maria Natalia

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia Corruption Watch menyatakan, pemerintah tidak transparan dalam memberikan detail penghitungan biaya subsidi bahan bakar minyak (BBM). Hal ini mengakibatkan adanya dugaan mark up (penggelembungan dana) dalam perhitungan tersebut.

Menurut ICW, jika harga BBM premium dan solar tidak naik, dalam arti tetap di harga Rp 4.500 per liter, maka total beban subsidi BBM dan LPG hanya Rp 148 triliun. Hal ini berbeda dengan versi pemerintah yang menyebut jika harga BBM tidak naik maka beban subsidi BBM bisa mencapai Rp 178 triliun. Perbedaan hitungan inilah yang, menurut ICW, menunjukkan indikasi mark up mencapai sekitar Rp 30 triliun.

"Skenarionya, kalau BBM tidak naik, pemerintah berkali-kali mengatakan, subsidi kan jebol sampai Rp 178 triliun. Pertanyaannya, kalau kita hitung lagi secara detail, kita hanya dapatkan bahwa beban subsidi hanya Rp 148 triliun. Ada selisih lebih rendah Rp 30 triliun dari yang dibilang pemerintah. Pertanyaannya dari mana masalah perbedaan ini muncul," jelas Koordinator Divisi Monitoring Analisis Anggaran ICW, Firdaus Ilyas, dalam jumpa pers di kantor ICW, Jakarta Selatan, Rabu (28/3/2012).

Firdaus mempertanyakan bagaimana metode perhitungan biaya subsidi BBM ini versi pemerintah yang tidak transparan. ICW, kata dia, menggunakan metode perhitungan-perhitungan umum, yang lazim digunakan dalam penghitungan harga BBM di Pertamina, BPH Migas, maupun Kementerian ESDM.

Sementara patokan harganya mengacu pada Mean Oils Platt Singapore atau harga rata-rata transaksi bulanan minyak di pasar Singapura. Metode ini dipakai secara umum di Indonesia tahun 2006.

"Jika harga BBM dinaikkan menjadi Rp 6.000 dari hitungan ICW, total beban subsidi Rp 68 triliun, sedangkan menurut hitungan pemerintah Rp 111 triliun. Selisihnya hampir Rp 43 triliun. Kita menggunakan parameter asumsi yang sama, metode yang sama dengan pemerintah. Tetapi, kenapa ada hasil perhitungannya bisa berbeda. Ini persoalan pada tidak transparan penghitungan," jelas Firdaus.

Ia menyatakan tak tahu akan mengalir ke mana dana selisih itu jika memang ada indikasi mark up. Dugaan ICW, banyak pihak yang berkepentingan dengan bisnis minyak saat ini yang perlu diwaspadai.

"Saya tidak tahu akan masuk ke kantong mana saja jika biaya subsidi BBM di-mark up. Tapi, pihak yang memiliki kepentingan dengan bisnis ini banyak. Mungkin saja pemerintah, legislatif, dan pengusaha," terangnya.

Ia menyatakan, ICW siap berdiskusi dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM, Pertamina maupun BPH Migas terkait perbedaan perhitungan tersebut. Publik, kata dia, perlu tahu jika memang ada perhitungan dan dugaan mark up karena ini menyangkut kepentingan publik.

"Kita merasa belum perlu menaikkan harga BBM 2012, cukup dengan harga premium dan solar Rp 4.500. Datanya dari mana? Ya dari perhitungan kami itu tadi. Saya tidak tahu, di mana salahnya hitungan pemerintah sehingga ada selisih ini, tapi harus dibuka satu-satu. ICW siap, kami dengan senang hati, kita buka datanya satu-satu," pungkas Firdaus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

    KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

    Nasional
    PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

    PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

    Nasional
    Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

    Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

    Nasional
    Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

    Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

    Nasional
    Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

    Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

    Nasional
    MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

    MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

    Nasional
    Paradoks Sejarah Bengkulu

    Paradoks Sejarah Bengkulu

    Nasional
    Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

    Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

    Nasional
    Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

    Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

    Nasional
    Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

    Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

    Nasional
    Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

    Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

    Nasional
    Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

    Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

    Nasional
    Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

    Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

    Nasional
    Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

    Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

    Nasional
    Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

    Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com