Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hakim Ingatkan Nunun

Kompas.com - 27/03/2012, 02:00 WIB

Jakarta, Kompas - Di tengah persidangan, terdakwa dugaan suap cek perjalanan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat tahun 2004, Nunun Nurbaeti, mengeluh sakit lagi. Majelis hakim pun mengingatkan Nunun dan penasihat hukumnya agar izin berobat jalan tidak disalahgunakan.

Sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (26/3), seharusnya memeriksa lima saksi dalam kasus penyuapan terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) di DPR tahun 2004. Namun, sidang terpaksa dihentikan oleh majelis hakim, seusai istirahat makan siang, sebab Nunun mengaku tidak bisa lagi melanjutkan sidang. Padahal, saat itu baru dua saksi yang diperiksa.

Nunun mengeluhkan sakit dan langsung diperiksa dokter dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanes Hutabarat. Menurut Johanes, Nunun memiliki riwayat hipertensi sehingga bisa berbahaya apabila sidang itu dilanjutkan.

Ketua Majelis Hakim Sudjatmiko akhirnya mengizinkan Nunun berobat jalan. Namun, dia mengingatkan agar izin berobat jalan itu jangan disalahgunakan. ”Kalau cuma berobat jalan, ya, berobat jalan. Jangan yang sampai rawat inap. Kalau mau rawat inap, bikin permohonan,” katanya lagi.

Sejak ditangkap pada 10 Desember 2011 di Thailand, Nunun beberapa kali terserang sakit. Ia juga beberapa kali dirawat.

Siapa Indah?

Dalam sidang, saksi Tutur yang menjabat cash officer Bank Artha Graha menyebut nama Indah sebagai penerima cek perjalanan yang diterbitkan BII. Nama Indah sampai kini belum diperiksa penyidik KPK dan belum diketahui keberadaannya.

Cek perjalanan itu dipesankan Bank Artha Graha ke BII, sesuai permintaan PT First Mujur Plantation and Industry (FMPI). Menurut Tutur, cek itu setelah diterima Indah diteruskan kepada pimpinan PT FMPI.

Bekas Direktur Keuangan PT FMPI Budi Santoso juga menjadi saksi dalam sidang itu. Ia menjelaskan, pemilik PT FMPI, Hidayat Lukman, awalnya akan bekerja sama dengan Suhardi alias Ferry Yen untuk membeli kebun kelapa sawit di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, seluas 5.000 hektar senilai Rp 75 miliar.

Budi mengakui, Hidayat menyetorkan dana Rp 60 miliar. Ferry menyetorkan Rp 15 miliar. Hidayat menyiapkan tujuh lembar cek dari Bank Artha Graha senilai Rp 24 miliar. Namun, Ferry meminta agar cek itu diubah menjadi cek perjalanan.

”Bank Artha Graha tak menjual cek perjalanan. Mereka pesan ke BII. Tanggal 8 Juni 2004 keluar cek perjalanan dari BII,” kata Budi.

Pada saat yang sama di DPR sedang dilakukan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Pada 8 Juni itu juga merupakan waktu cek perjalanan yang diterbitkan BII itu dibagikan Ahmad Hakim Safari alias Arie Malangjudo, staf Nunun, kepada sejumlah anggota DPR periode 1999-2004. Cek perjalanan dari BII itulah yang menjadi alat suap kepada anggota DPR agar memilih Miranda Swaray Goeltom.

Menurut Budi, cek perjalanan yang diterbitkan BII itu diterimanya menjelang siang. Ia tak ingat orang yang menyerahkan cek perjalanan itu.

Sebaliknya, Tutur sempat ditanyai Jaksa KPK M Rum tentang orang yang datang mengambil cek perjalanan itu. ”Apakah yang datang dari FMPI dan mengambil cek perjalanan BII itu seorang perempuan? Apakah dia juga membawa tujuh lembar cek dari Bank Artha Graha? Ada yang namanya Indah?” kata Rum. Tutur pun mengiyakan, yang mengambil cek perjalanan itu seorang perempuan bernama Indah.

Rum mengakui Indah masih misterius. KPK belum bisa melacaknya. (bil)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com