Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Terjal Pemiskinan Koruptor

Kompas.com - 06/03/2012, 06:46 WIB

oleh Febri Diansyah

Presiden SBY menyatakan mendukung pemiskinan koruptor (Kompas, 3/3). Pernyataan ini respons atas vonis pengadilan tindak pidana korupsi terhadap Gayus HP Tambunan yang memerintahkan harta mantan pegawai pajak tersebut dirampas untuk negara.

Gayus dijerat pasal korupsi dan pencucian uang. Pemiskinan seperti apa yang ada dalam pikiran Presiden? Konsep yang tentu tak boleh hanya bersifat reaksioner dan berhenti pada konsumsi pencitraan semata. Jika dicermati, wacana pemiskinan muncul lantaran kekecewaan mendalam pada realitas penghukuman kita.

Sering terdengar koruptor divonis ringan atau bahkan bebas. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch, sejak pengadilan tipikor daerah terbentuk, setidaknya 51 terdakwa divonis bebas/lepas dengan skor tertinggi dipegang Pengadilan Tipikor Surabaya dan Samarinda.

Sanksi yang dijatuhkan pun tergolong rendah. Pada 2011, dari 55 terpidana korupsi yang dieksekusi KPK, rata-rata vonis hanya 3 tahun 2 bulan. Bahkan, untuk ”korupsi berjemaah” seperti skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda S Goeltom, rata-rata vonis hanya 1 tahun 4 bulan. Padahal, pelaku korupsi orang-orang yang sebelumnya berada di posisi terhormat, mendapat kepercayaan rakyat untuk mengurus negara yang kemudian khianat.

Angka di atas terasa kian menjengkelkan ketika di lembaga pemasyarakatan, para pencuri uang rakyat ini justru mendapatkan ”kemewahan” dalam bentuk remisi hingga pembebasan bersyarat. Walhasil, proses hukum yang sulit dan kerugian masyarakat akibat korupsi sama sekali tak terobati dengan hukuman ala kadarnya itu. Jangankan efek jera terhadap pihak lain agar tidak melakukan korupsi, penjeraan terhadap pelaku pun sulit tercapai. Para pejabat tak akan enggan korupsi jika ternyata ”kerugian” yang didapat tidaklah sehebat nikmat dan keuntungan dari korupsi itu sendiri. Siapa takut korupsi?

Pemikiran dan tindakan konkret untuk menjawab situasi yang terasa tidak adil tentang penghukuman koruptor perlu ada. Perampasan kekayaan hingga kolong kasur koruptor harus direalisasikan sehingga orang akan berpikir seribu kali untuk korupsi karena jika tertangkap, ia bisa menjadi lebih miskin dari sebelumnya.

Kenapa pemiskinan?

Argumentasi lebih konseptual pemiskinan koruptor terkait dengan satu isu penting tentang perang terhadap kejahatan serius. Dalam diskursus penerapan UU pencucian uang yang terkait dengan kejahatan transnasional dan terorganisasi, kita mengenal prinsip uang sebagai live blood of the crime. Uang hasil kejahatan sesungguhnya darah yang menghidupi kejahatan tersebut, menutupinya dari proses hukum, dan bahkan modal untuk melakukan kejahatan yang lebih besar.

Sebuah kejahatan terorganisasi tentu perlu biaya operasional yang tak sedikit. Ketika kejahatan selesai, hasilnya akan disimpan dan dikelola untuk membiayai ”pertahanan diri” agar tak disentuh hukum, termasuk menyuap penegak hukum dan menyewa pengacara andal. Selain itu, dalam perkembangannya, mekanisme gate-keeper untuk mencuci uang hasil kejahatan—agar seolah-olah sah—juga butuh biaya tinggi. Aliran dana kejahatan ini dapat saja berputar seperti siklus yang kadang sebagian di antaranya masuk dalam aliran dana ”formal” keuangan negara lewat pencucian uang.

Dari sudut pandang ”darah bagi kejahatan” ini, konsep pemiskinan koruptor dinilai punya arti strategis untuk memotong nadi kejahatan. Selain diperkirakan sebagai titik yang paling rapuh dalam konstruksi kriminal, perampasan kekayaan hasil kejahatan juga punya fungsi pencegahan terhadap kejahatan yang jauh lebih sistematis, besar, dan terorganisasi. Tentu dengan catatan, ke depan konsep pemiskinan ini tak lagi sekadar menyentuh personal, tetapi juga korporasi sehingga upaya pengumpulan dana, pengelolaan, dan siklus uangnya bisa lebih efektif dihentikan dengan sarana hukum.

Dari sudut pandang teori oligarki, kita bisa menemukan relevansi strategi pemiskinan koruptor ketika ia mampu merusak konsentrasi kekayaan para oligarkis. Seperti diuraikan Jeffrey Winters, hanya oligarkis yang mampu menggunakan kekayaannya untuk mempertahankan kekayaan. Pertahanan kekayaan mencakup dua hal: property defense dan income defense.

Jika perolehan kekayaan dan sumber pendapatan para oligarkis sesuai aturan hukum, mungkin tak akan jadi soal. Namun, menjadi sangat serius ketika konsentrasi kekayaan berasal dari perampokan keuangan negara atau persekongkolan dengan pejabat pada pengelolaan sumber daya alam atau kebijakan ekonomi yang menguntungkan para oligarkis.

Singapura sudah melakukannya ketika pemerintah negara itu melakukan pertempuran besar dengan kaum oligarkis yang menumpuk kekayaan lewat korupsi, dengan membentuk Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB, semacam KPK) pada 1952 (Winters, 2011: 421).

Pengalaman Singapura bisa jadi pembelajaran. Bahwa perang terhadap korupsi juga harus dilihat sebagai bagian dari strategi lebih besar untuk memecah konsentrasi kekayaan para perampok yang akhirnya berujung pada distribusi kesejahteraan yang lebih adil. Kewajaran kekayaan para penyelenggara negara bisa jadi titik awal pintu masuk. Kemudian, kekayaan dan transaksi yang mencurigakan itu ditelusuri lebih jauh asal-usul dan relasinya dengan penguasa modal.

Febri Diansyah Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch

TULISAN FEBRI DIANSYAH SELENGKAPNYA BACA DI KOMPAS CETAK

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Nasional
100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

Nasional
KPU Bantah 16.000 Lebih Suara PPP Hilang di Sumut

KPU Bantah 16.000 Lebih Suara PPP Hilang di Sumut

Nasional
Tata Kelola Makan Siang Gratis

Tata Kelola Makan Siang Gratis

Nasional
Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Nasional
Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Nasional
Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Nasional
KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

Nasional
Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Nasional
Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Nasional
Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Nasional
Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Nasional
Hari Kedua Kunker di Sultra, Jokowi Akan Tinjau RSUD dan Resmikan Jalan

Hari Kedua Kunker di Sultra, Jokowi Akan Tinjau RSUD dan Resmikan Jalan

Nasional
Serba-serbi Isu Anies pada Pilkada DKI: Antara Jadi 'King Maker' atau Maju Lagi

Serba-serbi Isu Anies pada Pilkada DKI: Antara Jadi "King Maker" atau Maju Lagi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com