Tanaman-tanaman tersebut tumbuh subur di tengah cuaca kering tanpa hujan selama enam bulan terakhir. Tanah seluas hampir 10 hektar tersebut semula adalah tanah kering tidak produktif yang dibeli bersama-sama oleh kelompok petani wanita (sanghams) dari seorang tuan tanah sekitar 20 tahun silam. Sistem pengelolaan berbasis agroekologi yang mereka lakukan ternyata mampu membalikkan kondisi tanah: dari yang semula tidak produktif menjadi produktif.
Gerakan ”kedaulatan pangan” tersebut perlahan-lahan membesar dan sejak tahun 2000-an mulai diadopsi menjadi gerakan massal petani kecil di India. Mereka mengembangkan benih, membuat pupuk organik, pestisida nabati, menanam berbagai varietas tanaman lokal di ladang-ladang mereka, dan mengembangkan lumbung pangan sendiri. Melalui gerakan semacam itu, terjadi peningkatan produksi pangan yang tinggi di wilayah-wilayah tersebut, yang mampu menopang kebutuhan pangan setempat dan komunitas di luar mereka.
Kondisi yang bertolak belakang kita alami saat ini di Indonesia. Presiden dalam pembukaan ”Jakarta Food Security Summit, Feed Indonesia Feed The World 2012” menyatakan tidak mudah meningkatkan produksi pangan dunia di masa depan (Kompas, 8 Februari 2012). Alih-alih akan memberi makan dunia (feed the world), perkembangan produksi pangan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini justru mengarah yang sebaliknya.
Apabila kita bandingkan data perdagangan pangan periode 2009/2010 dengan periode 2010/2011, terjadi peningkatan luar biasa impor pangan. Impor beras meningkat 141 persen, jagung 89 persen, dan kedelai 19 persen (USDA, Desember 2011). Impor gandum yang tahun sebelumnya sudah menembus angka di atas 5 juta ton, pada periode sekarang masih meningkat lagi dan mencapai 6,6 juta ton atau peningkatan sebesar 23 persen. Total impor biji-bijian, termasuk tepung, untuk periode 2010/2011 mencapai 17,2 juta ton, suatu angka impor yang fantastis.
Ironisnya, bukan hanya berbagai ”pangan pokok” tersebut, rak-rak supermarket di Indonesia 60-80 persen diisi buah-buahan impor. Impor apel, anggur, pir, dan jeruk pada 2010/2011 meningkat masing-masing sebesar 37, 39, 44, dan 19 persen dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya.
Terdapat berbagai permasalahan besar yang menyebabkan produksi pertanian kita stagnan, bahkan cenderung menurun. Iklim selalu menjadi ”kambing hitam” jika terjadi penurunan produksi pertanian di Indonesia. Tak bisa dipungkiri bahwa
Salah satu penyebab terkait hal tersebut adalah ketidakmampuan kita mengelola air. Hanya 10 persen air irigasi yang bisa dikendalikan, 50 persen jaringan irigasi strategis nasional di Pulau Jawa rusak, dan 27 persen seluruh jaringan irigasi nasional perlu rehabilitasi ringan hingga berat (DA Santosa, ”Waspadai Pangan 2012”, Kompas, 11 November 2011).