Lahan pertanian merupakan persoalan besar lainnya. Dengan luas lahan pertanian pangan yang hanya 358 meter persegi per kapita untuk sawah atau 451 meter persegi jika digabungkan juga dengan lahan kering, upaya dan terobosan apa pun untuk peningkatan produksi akan mengalami jalan buntu. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Angkanya 100.000 hingga 110.000 per hektar per tahun. Padahal, lahan-lahan pertanian itu sebetulnya sudah ”dilindungi” oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Teknologi peningkatan produksi juga memiliki keterbatasan. Stagnasi peningkatan produksi melalui asupan teknologi tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, yang merupakan salah satu eksportir pangan dunia, produktivitas tiga jenis tanaman utama mereka (gandum, jagung, dan kedelai) tidak banyak berbeda dibandingkan dengan tahun 1980-an. Upaya melalui teknologi transgenik yang sudah diterapkan sejak tahun 1996 untuk empat jenis tanaman, yaitu jagung, kedelai, kanola, dan kapas, juga tidak membawa dampak positif terhadap produktivitas tanaman tersebut.
Lalu, bagaimana upaya-upaya yang dapat kita kerjakan pada masa depan?
Konsep yang mereka kembangkan sangat berbeda dibandingkan dengan konsep ketahanan pangan yang menempatkan pangan sebagai komoditas perdagangan serta pemisahan tegas antara produsen, pedagang, dan konsumen. Petani kecil di India memahami kedaulatan pangan dengan bahasa yang sangat sederhana, yaitu pangan lokal, produksi lokal, penyimpanan lokal, dan distribusi lokal.
Melalui gerakan kedaulatan pangan yang dirintis lembaga nirlaba Deccan
Sebagaimana di Indonesia, Pemerintah India dalam upaya penanggulangan kemiskinan juga melakukan program bantuan pangan untuk masyarakat miskin, yang dikenal dengan Public Distribution System. Dibandingkan dengan program pemerintah tersebut, program yang mereka kerjakan jauh lebih efisien. Hanya Rp 1 per Rp 7 rupiah pengeluaran pemerintah yang benar-benar diterima oleh masyarakat sasaran.
Pengeluaran terbesar adalah untuk administrasi, transportasi, dan distribusi pangan. Sebaliknya, melalui gerakan kedaulatan pangan, setiap Rp 1,6 dana yang dikeluarkan, sebesar Rp 1 akan diterima langsung oleh masyarakat sasaran.
Pemerintah India mendukung dan mendanai gerakan kedaulatan pangan yang dimotori oleh lebih dari 500 organisasi akar rumput. Gerakan tersebut menjadi salah satu pilar yang berhasil membantu Pemerintah India menyediakan pangan bagi 1,21 miliar penduduknya. Ketika Indonesia dengan jumlah penduduk 241 juta jiwa harus mengimpor belasan juta ton bahan pangan, sebaliknya India pada tahun 2011 mampu mengekspor beras sebesar 4,5 juta ton, jagung 2,2 juta ton, dan tepung kedelai sebesar 4,2 juta ton.
Indonesia masih memiliki 23,24 juta lahan kering yang bisa digunakan untuk memproduksi pangan, yaitu seluas 8.136.646 hektar di dalam kawasan hutan dan 15.106.234 hektar di luar kawasan hutan (Departemen Kehutanan, 2002). Lahan seluas itu potensial untuk menghasilkan 25 juta ton hingga 50 juta ton biji-bijian atau 75 juta ton hingga 150 juta ton umbi-umbian per tahun.
Petani kecil memiliki potensi besar untuk mengubah hitungan tersebut menjadi kenyataan, bukan korporasi atau para pemburu rente ekonomi.