Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Betapa Sengsaranya Tidak Punya KTP

Kompas.com - 09/01/2012, 09:01 WIB

Adhitya Ramadhan

KOMPAS.com - Benda tipis itu hanya berukuran 8,5 x 5,5 sentimeter. Sering kali orang menganggap remeh kartu itu. Namun, benda kecil itu punya peran penting sehingga betapa sengsara jika kita tidak memilikinya. Benda yang dimaksud adalah kartu tanda penduduk.

Kartu tanda penduduk (KTP) bagi sebagian besar orang mungkin tidak terlalu istimewa. Di samping untuk urusan transaksi jual-beli, administrasi perbankan, pengurusan kartu identitas lain, dan keterangan domisili, KTP lebih sering tersimpan rapi di dompet.

Namun, pengalaman warga Moro-Moro tanpa KTP selama hampir 14 tahun bisa menggambarkan betapa sengsaranya mereka yang diabaikan negara. Kartu identitas kependudukan bagi penduduk yang bermukim di Register 45, Kecamatan Way Serdang, Kabupaten Mesuji, Lampung, itulah yang selama ini mereka damba. Di Register 45 inilah pada Maret dan April 2011 terjadi bentrokan berdarah yang menelan setidaknya 10 korban tewas akibat sengketa perkebunan kelapa sawit.

Warga Sukamakmur, Moro-Moro, Ismail (40), Senin (2/1/2012), bercerita, beberapa waktu lalu ia mencoba membuka ladang di Lubuk Atum, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Sebagai pendatang, ia harus mendapat izin dari pemerintah desa dan membuat KTP setempat.

Namun, apa daya, ia ditolak pemerintah desa setempat karena tidak bisa membawa surat pengantar pindah dari daerah asal. Surat tersebut harus ditandatangani kepala desa dan camat. Sementara yang Ismail bawa hanya secarik surat keterangan dari Persatuan Petani Moro-Moro Way Serdang (PPMWS). ”Kalau saya tidak diterima, ya, sudah saya kembali saja ke Moro-Moro,” katanya.

Lain halnya dengan Wayan Suwardika (38), warga Sukamakmur lain. Ia sering membawa istri yang menderita mag kronis berobat ke puskesmas di Kecamatan Simpang Pematang, Kabupaten Mesuji, Lampung. Setiap kali berobat biayanya sekitar Rp 250.000. Padahal, kata Suwardika, untuk penyakit sama bagi orang lain yang ber-KTP biayanya hanya Rp 100.000. ”Dokter bilang karena tidak punya KTP sehingga saya belum bisa menjadi peserta Askeskin (Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin). Padahal, berobat memakai kartu Askeskin bisa lebih murah,” kata Suwardika yang biasa dipanggil Pak Dewi itu.

Suwardika memang tidak memiliki KTP, tetapi ia memiliki sepeda motor dan surat izin mengemudi (SIM). KTP yang ia peroleh untuk membeli sepeda motor dan SIM beralamat di Dusun Kuripan, Kelurahan Labuhan Dalam, Kecamatan Menggala, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. KTP itu diperoleh atas bantuan pihak penjual sepeda motor.

Hal yang sama dialami Nengah Sugandra (41), warga Moro Dadi, yang juga memiliki sepeda motor. Ia dibantu saudaranya di Bujuk Agung, Kecamatan Banjar Margo, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, untuk mendapatkan KTP. ”Sejak 2007 banyak warga Moro-Moro yang memiliki kendaraan. Untuk mendapatkan SIM, mereka tinggal meminta bantuan ke biro jasa atau diler motor. Jadi, tidak aneh kalau KTP yang dibuat untuk mendapatkan SIM beralamat di luar Moro-Moro,” tutur Nengah Sugandra.

Lahan Register 45 yang kini ditempati warga Moro-Moro adalah lokasi hak pengusahaan hutan tanaman industri PT Silva Inhutani Lampung (SIL). Warga pertama kali masuk dan menggarap lahan itu pada 1997-1998. Terdesak oleh kebutuhan ekonomi dan melihat lahan Register 45 yang mayoritas hanya berupa semak belukar, warga memutuskan mengelola lahan itu. Tanaman albasia milik PT SIL hanya berjarak 25 meter dari jalan lintas timur Sumatera. Semakin ke dalam yang ada justru tanaman singkong.

Kini, warga Moro-Moro berjumlah 1.300 keluarga atau 5.311 jiwa yang tersebar di lima dusun (Simpang Asahan, Moro Dewe, Moro Dadi, Moro Seneng, dan Suka Makmur).

Dari jumlah itu, lebih kurang 2.000 jiwa di antaranya anak-anak sekolah. Berdasarkan data PPMWS, luas permukiman plus kebun warga Moro-Moro 2.444 hektar.

Ibarat burung dalam sangkar, warga Moro-Moro telah dikerangkeng. Pengalaman Ismail bisa menjadi gambaran betapa sulitnya mendapatkan KTP di daerah baru bagi warga yang pindah dari Moro-Moro. Anak-anak yang lahir di Moro-Moro pun umumnya tidak memiliki akta kelahiran, demikian pula keluarga umumnya tak punya kartu keluarga.

Bahkan, tidak hanya itu. Karena menempati Register 45, warga Moro-Moro tidak memiliki hak politik dalam pemilihan umum. Selama 14 tahun mereka hanya memilih pada Pemilu Presiden 2004.

Sekretaris Jenderal PPMWS Syahrul Sidin mengatakan, bertahun-tahun warga Moro-Moro berjuang untuk mendapatkan KTP. Pemerintah Kabupaten Mesuji dinilai tidak punya itikad baik untuk memperjuangkan hak asasi dan ”kewarganegaraan” penduduknya selama bertahun-tahun. Kesan kuat saling lempar tanggung jawab terlihat nyata.

Penjabat Bupati Mesuji Albar Hasan Tanjung, misalnya, menyatakan, warga yang tinggal di Moro-Moro itu bukanlah warga Kabupaten Mesuji. Mereka pendatang dari sejumlah daerah di Lampung. ”KTP yang bagaimana? Mereka bukan warga Mesuji,” ujarnya.

Sementara Camat Way Serdang Helmi Saad menambahkan, jika hendak memiliki KTP, warga Moro-Moro harus mengikuti prosedur yang ada. Warga harus membawa surat pindah dari daerah asal. Daerah tujuan yang akan ditinggali di Way Serdang pun harus jelas. ”Moro-Moro di Register 45 itu kan bukan desa definitif. Tidak ada desa definitif di situ. Jadi, ya, warga di situ tidak bisa mendapatkan KTP,” kata Helmi.

Namun, dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, Wahyu Sasongko, menunjukkan bahwa warga Moro-Moro korban inkonsistensi kebijakan pemerintah. Di satu sisi mereka diikutkan dalam sensus penduduk 2010 dan Pemilu 2004. Di sisi lain, mereka tak diakui sebagai warga negara. Wahyu berpendapat, solusi pemberian hak pilih bisa dilakukan dengan memberikan KTP sementara. Sementara solusi komprehensif persoalan pendudukan Register 45 harus bisa menuntaskan ketidakadilan akses terhadap sumber daya alam yang dialami masyarakat.

Apa yang terjadi di Moro-Moro sebenarnya adalah konflik agraria yang telah mengabaikan hak asasi manusia sebagai warga negara. Persoalan tidak mendapat KTP ini adalah gambaran betapa semrawutnya kinerja negeri ini.

Sebab, konflik agraria yang serupa dengan yang terjadi di Moro-Moro banyak pula terjadi di tempat lain. Juga di negeri ini....

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com