Bersama sejumlah rekannya, Henry mengusung Deklarasi Hak Asasi Manusia bagi petani sejak 2001 untuk dijadikan salah satu kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perjuangan itu memasuki titik terang dan tinggal menunggu sikap Amerika Serikat serta sejumlah negara di Eropa.
Agenda kedaulatan pangan dengan konsep agroekologi yang diperjuangkan membuat dia dikukuhkan sebagai satu di antara 50 orang yang bisa menyelamatkan bumi oleh harian Inggris
Tahun 2011, surat kabar mingguan Inggris,
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) itu memulai segalanya dengan integritas dan strategi. Ini pula yang membuat dia terus bisa bergerak sekalipun masa Orde Baru dinilai banyak orang sebagai masa suram bagi gerakan pengorganisasian sosial. Apalagi pengorganisasian petani dengan isu reforma agraria yang kompleks. Henry menilai persoalan itu sudah dibawa pada arah yang bertentangan dengan konstitusi sejak mulanya.
Semangat melawan sistem yang semena-mena dengan tema liberalisasi pertanian itu pernah berwujud ketika Henry bersama ribuan aktivis dari sejumlah negara menduduki Hongkong pada Desember 2005. Selama sepekan, Henry beserta ribuan demonstran berupaya membatalkan pertemuan tingkat menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hal itu membuat dia dipenjara selama beberapa hari.
Sejak mulai kuliah di Universitas Sumatera Utara (USU), Henry sudah berhadapan dengan kerasnya dunia pergerakan. Setelah aktif dalam komisariat Himpunan Mahasiswa Islam, ia aktif pada forum-forum diskusi dan berbagai lomba karya tulis ilmiah.
Hingga 1987, beragam diskusi tak memuaskan dahaganya. Apalagi setelah ia melihat kenyataan pelaksanaan proyek Nucleus Estate Smallholder Participation (NESP) Ophir yang saat itu berada di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat.