JAKARTA, KOMPAS.com — Salah satu calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Inspektur Jenderal (Purn) Aryanto Sutadi diketahui sempat menutup-nutupi jumlah harta kekayaannya mulai dari proses di Panitia Seleksi Capim KPK hingga uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ketika hal tersebut dikonfirmasi kepada Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar, ia mengaku pihaknya tak memiliki wewenang untuk mengomentari hal tersebut.
"Sepenuhnya, itu kewenangan DPR untuk menilai dan memutuskan. Jadi, kami tidak pada tempatnya mengomentari itu," ujar Boy di Markas Besar Polri, Jakarta, Selasa (29/11/2011).
Di sisi lain Boy menyatakan, Aryanto Sutadi termasuk salah satu perwira terbaik Polri. Oleh karena itu, pihaknya bersyukur Aryanto berada di antara nama-nama unggulan calon pimpinan KPK.
"Aryanto Sutadi termasuk purnawirawan Polri yang memiliki catatan bagus, punya dedikasi bagus selama melaksanakan masa baktinya di Polri. Dia juga merupakan salah satu perwira terbaik Polri," ujar Boy.
Polri, kata Boy, tetap mendukung Aryanto untuk melewati tahapan-tahapan dalam pemilihan calon pimpinan KPK dan menyerahkan hasil keputusan yang terbaik kepada DPR.
"DPR yang melakukan fit and proper test. Semua akan berpulang pada proses fit and proper test, tetapi kita semua dari Polri memberikan dukungan kepada beliau. Terserah masyarakat dan DPR untuk dapat memilih beliau atau tidak. Itu terserah, sepenuhnya bukan dari kita lagi dan kewenangan kita," ujarnya.
Seperti diketahui, dalam proses uji kelayakan dan kepatutan, Indra, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mempertanyakan perbedaan harta kekayaan Aryanto dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan hasil penelusuran KPK. Dalam LHKPN, kata Indra, Aryanto menyebut hartanya hanya sekitar Rp 5 miliar. Namun, hasil penelusuran, total hartanya mencapai Rp 8,5 miliar.
Pertanyaan tersebut tidak dijawab oleh Aryanto. Indra juga mencecar Aryanto terkait tidak mengisi LHKPN dalam rentang waktu 2001 hingga 2009. Saat itu, dia menjabat Direktur I Badan Reserse Kriminal, Direktur IV Badan Reserse Kriminal, dan Kepala Divisi Pembinaan Hukum. Padahal, kata dia, aparat penegak hukum harus melaporkan hartanya seperti diatur dalam undang-undang. Aryanto pun hanya menjawab kesulitan untuk mengisi LHKPN.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.