JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa membantah penilaian beberapa pihak yang menyatakan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) di daerah terkesan dipaksakan.
Menurut Harifin, pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah sudah dijalankan sesuai dengan mekanisme Undang-Undang yang berlaku. "Coba bayangkan, kalau MA tidak melakukan (pembentukan Pengadilan Tipikor daerah). Itu kan bisa melanggar Undang-Undang," ujar Harifin kepada wartawan di Gedung MA, Jakarta, Rabu (9/11/2011).
Sebelumnya, Ketua MK Mahfud MD mengatakan, pembentukan pengadilan tipikor dibentuk secara tiba-tiba, dengan pengembangan dari putusan MK tentang Pengadilan Tipikor Jakarta pada 19 Desember 2006.
Menurut Mahfud, MK membuat putusan bahwa Pengadilan Tipikor Jakarta itu inkonstitusional karena dibentuk hanya berdasarkan Pasal 53 UU Pemberantasan Korupsi.
Harifin mengatakan, pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah juga berdasarkan Undang-Undang No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Menurutnya, UU tersebut memberikan jangka waktu selama dua tahun, sejak Oktober 2009 dan berakhir pada Oktober 2011.
"Dengan segala macam upaya perintah UU ini kita laksanakan. Jadi kalau dikatakan itu dipaksakan, atau tergesa-gesa, tergesa-gesanya itu di mana. Dan di seleksi pertama kita hanya mampu menjaring 27 orang, untuk seleksi yang kedua hanya ada 50 orang. Jadi saya jadi heran orang yang berbicara seperti itu seperti tidak mengikuti dan tidak membaca UU," kata Harifin.
Pengadilan tipikor daerah, tengah menjadi sorotan masyarakat karena maraknya vonis bebas terhadap koruptor yang dikeluarkan majelis hakim di sana. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sebanyak 40 terdakwa kasus korupsi divonis bebas di pengadilan tipikor daerah.
Sebelumnya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqqie menilai maraknya vonis bebas tersebut dapat terjadi karena sejak awal pembentukannya, Pengadilan Tipikor daerah memang terkesan dipaksakan secara politis oleh pemerintah dan DPR.
Saat menjadi Ketua MK, Jimly mengaku tidak pernah menyetujui adanya pengadilan tersebut, karena dinilai akan menyebabkan dualisme sistem peradilan di daerah dan pusat.
"Maka dari itu saya sesalkan kalau seperti ini keadaannya, banyak vonis-vonis bebas di daerah. Jadi MA harus memperhatikan persoalan ini dengan serius, dengan segera mengevaluasi dan memperketat seleksi-seleksi hakim ad hoc di daerah," kata Jimly.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.