Tiga wilayah segitiga konflik bersenjata dan politik itu, yaitu Jayapura-Timika-Puncak Jaya, bertautan dengan meratanya persoalan sosial dan ekonomi di semua wilayah, menjadikan aneka persoalan tidak mudah diselesaikan.
Karena itu, aneka persoalan tersebut perlu diidentifikasi bersama. ”Apa masalahnya? Bisa jadi perspektif berbeda, tetapi ketika dibicarakan, bisa cari solusi,” kata Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Neles Tebay.
Saat ini ada dua sikap, yaitu NKRI harga mati dan Papua merdeka harga mati. Masing-masing punya alasan melakukan kekerasan.
Menurut Tebay, yang dibutuhkan tak hanya menghentikan, tetapi juga mencegah kekerasan. ”Tidak bisa mengakhiri kekerasan dengan kekerasan. Menghadirkan tentara dalam jumlah besar juga tidak menyelesaikan soal,” ujarnya.
JDP menawarkan dialog sebagai sarana mempertemukan semua pihak yang berkonflik. Peluang terbuka lebar. Juli lalu, perwakilan orang asli Papua melalui Konferensi Perdamaian Tanah Papua menyepakati dialog sebagai jalan bermartabat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato jelang peringatan Hari Kemerdekaan RI, Agustus 2011, mengatakan pentingnya membangun Papua dengan hati. Itu menegaskan sikap pemerintah yang mengedepankan langkah damai melalui komunikasi konstruktif sebagaimana dia kemukakan pada pidato 16 Agustus 2010.
Muridan menyatakan, dialog adalah langkah moderat karena pendekatan keamanan tidak efektif. Di sisi lain, meski Undang-Undang Otonomi Khusus telah mengakomodasi apa yang perlu diselesaikan, misalnya hak asasi manusia melalui pengadilan HAM dan soal sejarah lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, implementasi otonomi khusus tidak konsisten.
Menurut dia, pemerintah mengenali tiap persoalan di Papua, tetapi sayang tidak segera merespons. Penyelesaian masalah Papua, misalnya, berubah menjadi pendekatan kesejahteraan, tetapi penanganannya masih di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Menko Polhukam Djoko Suyanto dalam Konferensi Perdamaian Tanah Papua, 5 Juli 2011, menuturkan, kekerasan hanya melahirkan kekerasan baru. Berbagai persoalan harus diselesaikan secara damai lewat komunikasi konstruktif untuk mencari akar permasalahan dan menemukan solusi terbaik.
Saat ini, masyarakat Papua menunggu wujud konkret komunikasi konstruktif itu.