Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pak Menteri, Benahi Kereta Kami

Kompas.com - 20/10/2011, 03:01 WIB

Agnes Rita Sulistyawati

Bagaimanapun kondisi KRL dan seberapa banyak keluhan penumpang, kereta selalu penuh sesak. Hal yang sama terjadi saat 29 perjalanan KRL dibatalkan selama 1,5 bulan karena perbaikan gardu listrik di lintas Bogor, yang dimulai pada Rabu (19/10).

”Ini lebih padat dari biasanya,” tutur Akhmal (36), penumpang KRL asal Bogor yang bekerja di kawasan Kuningan, Jakarta.

Akhmal sudah terbiasa bersesak-sesak dengan ribuan penumpang komuter yang saban pagi berangkat ke tempat kerja. Sebanyak 200.000 penumpang KRL lintas Bogor setiap harinya diangkut 205 perjalanan kereta.

Oleh karena itu, penumpang di atap KRL ekonomi, misalnya, sudah menjadi pemandangan yang jamak pada hari-hari sebelum ada pembatalan perjalanan karena jumlah perjalanan dan penumpang memang tidak imbang.

Namun, sejak kemarin, pemandangan jauh lebih dramatis. Kondisi atap KRL jauh lebih sesak akibat luberan sekitar 30.000 penumpang. Mereka berusaha berebut ruang di atap KRL ekonomi yang sudah sesak, sedangkan penumpang KRL Commuterline berusaha mengganjal pintu kereta yang berpendingin ruangan. Di pintu kereta itulah, penumpang bergelantungan sampai ke Jakarta.

Di Stasiun Depok, penumpang kembali menyemuti peron hanya selisih 1-2 menit setelah ribuan penumpang sebelumnya terangkut dengan KRL yang berangkat dari stasiun itu.

Jalur lintas Bogor ini memang terpadat daripada jalur KRL Jabodetabek lainnya. Bogor merupakan salah satu kawasan yang tumbuh sebagai lokasi perumahan terjangkau bagi pekerja di Jakarta. Frekuensi perjalanan KRL di jalur warisan Belanda itu juga terbanyak dibandingkan jalur lain. Dalam sehari, ada 205 perjalanan KRL lintas Bogor dari total 462 perjalanan KRL Jabodetabek.

Wahyudi, penumpang KRL dari Stasiun Citayam, Bogor, hingga Manggarai, Jakarta, masih setia dengan KRL selama lebih dari 10 tahun. Alasannya, perjalanan kereta lebih cepat ketimbang bus yang kerap terjebak kemacetan.

Tarifnya juga murah, yakni Rp 2.000 untuk kelas ekonomi dan Rp 7.000 untuk Commuterline. ”Kalau bus, biayanya Rp 8.000. Itu pun tidak ada trayek langsung sehingga saya harus ganti kendaraan sampai tiga kali,” ujar Wahyudi, yang bekerja sebagai pesuruh di Salemba.

Belum berubah

Kendati dibutuhkan, perubahan sangat lambat. Menurut Akhmal, sejak menggunakan KRL Bogor-Jakarta tahun 1995, ia merasakan tak ada perkembangan yang berarti pada KRL. Akhmal merasa Menteri Perhubungan belum memedulikan pembenahan KRL.

Akibatnya, aneka gangguan mulai dari kereta mogok, gangguan sinyal, sampai perjalanan yang batal masih terus ada. Belum lagi berbagai kasus kecelakaan kereta api dengan mobil atau pejalan kaki lantaran jalur kereta belum steril. Masalah lain adalah perusakan kereta yang dilakukan penumpang atau pihak luar.

Perbaikan gardu listrik di lintas Bogor merupakan satu dari sedikit perbaikan KRL. Setelah perbaikan ini, komuter Bogor bisa berharap akan ada penambahan frekuensi perjalanan hingga 32 rangkaian per hari, itu baru menjamin sampai 2015.

Akhmal berharap pembenahan tidak dilakukan sedikit-sedikit, yang malah merugikan penumpang. Namun, harapan penumpang memang masih jauh. Apalagi, anggaran untuk perkeretaapian di Indonesia masih kecil. Tahun 2011, Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan mendapatkan anggaran Rp 4 triliun untuk semua kereta di Indonesia. Sementara untuk perbaikan prasarana Jabodetabek hanya dianggarkan Rp 170 miliar setahun.

Dengan dukungan yang minim, tidak heran pertumbuhan penumpang KRL Jabodetabek jauh tertinggal dibandingkan kereta komuter di negara lain.

Di Bangkok, misalnya, kereta komuter modern yang mulai dioperasikan tahun 1999 kini memfasilitasi 630.000 perjalanan per hari atau sekitar 4 persen dari 17 juta perjalanan orang per hari. Adapun KRL Jabodetabek baru sanggup 2 persen saja. Akibatnya, kemacetan di jalan-jalan Jakarta tidak terhindari lagi akibat banyaknya komuter yang memakai kendaraan pribadi ke Jakarta.

Laju perbaikan perkeretaapian memang tidak bisa dilepaskan dari sosok pemimpin yang mengendalikan gerbong kemajuan. Pengamat perkeretaapian Taufik Hidayat berpendapat, kepemimpinan di Kementerian Perhubungan memegang peran yang tidak kecil untuk kemajuan KRL. ”Perbaikan KRL ini membutuhkan sinergi lintas kementerian, pemda, operator, hingga pengguna KRL. Oleh karena itu, Menteri Perhubungan perlu jadi motor untuk menyinergikan berbagai kementerian untuk mendukung kemajuan KRL.”

Perkembangan KRL mendambakan masinis yang andal untuk mengemudikan laju perubahan. Dengan begitu, komuter bisa terangkut kendati tetap berdiri. Setidaknya, penumpang tidak sampai luber ke atap atau mengganjal pintu kereta. (Antony Lee)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com