JAKARTA, KOMPAS.com - Pernyataan petinggi Partai Keadilan Sejahtera yang bernada mengancam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tengah proses reshuffle kabinet dinilai sebagai bentuk "cari perhatian" agar tidak diabaikan kemudian diajak bernegosiasi.
"Bisa saja itu taktik meningkatkan bargaining nilai tawar atau mengancam," kata ahli psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk di Jakarta, Sabtu (15/11/2011).
Pernyataan yang dimaksud antara lain pernyataan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq yang menyatakan jika satu menteri PKS dicopot maka tiga menteri lainnya akan ditarik dari kabinet. PKS menempatkan empat menterinya di kabinet yakni Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, Menteri Pertanian Suswono, Menteri Sosial Salim Segaf Al' Jufrie, serta Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata.
Selain itu, Sekjen PKS Anis Matta sempat mengancam akan membeberkan kontrak khusus dengan SBY ke publik jika ada kader PKS yang didepak dari kabinet.
Ahli Komunikasi Politik dari UI Tjipta Lesmana menilai, PKS "gerah" dan tidak nyaman dengan wacana reshuffle yang sudah tiga pekan dimunculkan Istana.
Handi menilai, PKS telah menerima sinyal jika menterinya akan didepak sehingga mereka mulai meluncurkan sinyal bernada ancaman. "Sebelum kita betul-betul tidak dihiraukan, kita kirim sinyal. Ini ada sinyal kita akan didepak, kita kirim sedikit, bisa jadi nanti hasilnya kompromi," ujar Handi mencontohkan.
Apakah kemudian komunikasi politik "cari perhatian" PKS itu berhasil atau tidak, tergantung hasil akhir reshuffle. "Kalau empat menteri PKS tidak dicopot, itu berhasil," ujar Muluk.
Terkait pernyataan bernada mengancam para petinggi PKS itu, Anis Matta sempat membantahnya. Menurut dia, tidak ada ancam mengancam terkait reshuffle.
Sementara itu, Sekretaris Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat Hinca Pandjaitan berkomentar, pernyataan para petinggi PKS itu merupakan gaya komunikasi politik tiap individu yang harus dihormati.
"Kadang teman-teman, sahabat kita punya gaya sendiri. Kita tidak bisa komentari, tapi mereka sahabat kami," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.