Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendongkrak Pendapatan, Memastikan Keadilan

Kompas.com - 30/09/2011, 09:47 WIB

Ekonom Iman Sugema kerap mengkritik kenaikan rasio pajak karena tidak diiringi pertumbuhan ekonomi yang sama tingginya, bahkan menurun. Dia menegaskan, penerimaan pajak yang tinggi ternyata berasosiasi dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah.

Imam menyebut, selama Orde Baru rasio pajak mencapai 7,4 persen, tetapi perekonomian hanya tumbuh 6,1 persen. Saat Gus Dur memimpin, rasio pajak 10,7 persen, tetapi pertumbuhan ekonomi hanya 4,8 persen. Hal itu berulang semasa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, rasio pajak 13,5 persen, sementara ekonomi hanya tumbuh 4,2 persen.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono memimpin pada 2004, rasio pajak 12,2 persen, tetapi pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen. Konsumsi pemerintah adalah salah satu pendukung pertumbuhan ekonomi dan sumber energinya penerimaan pajak.

Pada saat sama, aparat pajak terus berusaha mewujudkan potensi penerimaan. Pada tahun anggaran 1993/1994, dari potensi penerimaan pajak Rp 58,43 triliun, 52,2 persen (Rp 30,47 triliun) berhasil dihimpun. Lalu tahun 2002, dari potensi pajak Rp 235,7 triliun sebanyak 76,4 persen (Rp 180 triliun) jadi penerimaan negara. Tahun 2010, dari target Rp 606 triliun, sebanyak 98,1 persen masuk ke kas negara.

Meski begitu, potensi itu masih tercecer di berbagai tempat, antara lain pada aktivitas ekonomi ilegal. Pengamat pajak Darussalam menyebutkan, nilai potensi pajak yang hilang di ekonomi ilegal 39 persen dari PDB atau sekitar Rp 2.730 triliun jika besar PDB Rp 7.000 triliun.

Profesor JS Uppal pada 2003 menegaskan, potensi pajak Indonesia sebenarnya tiga kali lebih besar dari penerimaan.

Dalam jurnalnya, peneliti di Kementerian Keuangan, Gunawan Setiyaji dan Hidayat Amir, menyebutkan, kinerja penerimaan pajak juga perlu diukur dari tax buoyancy yang mengukur elastisitas kenaikan penerimaan pajak tiap kenaikan 1 persen PDB.

Data Bank Dunia menunjukkan, tax bouyancy Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain. Tiap kenaikan satu persen PDB penerimaan pajak meningkat 1,8 persen. Sementara, Malaysia mencapai 1,9 persen dan negara yang situasi politiknya rawan seperti Pakistan pun tax bouyancy mencapai 2,1 persen.

Gunawan Wisaksono dalam majalah dwibulanan Badan Pemeriksa Keuangan edisi Februari-Maret 2008 menuliskan, pemerintah mengklaim kenaikan penerimaan pajak hingga lima kali lipat, tetapi kenaikan itu tidak mendongkrak rasio pajak. BPK sangat kritis ketika dipimpin Anwar Nasution karena tidak mendapat akses memeriksa Ditjen Pajak. Mereka juga geram karena tidak mendapat fakta lengkap sehingga data penerimaan pajak masih karut-marut.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com