Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendongkrak Pendapatan, Memastikan Keadilan

Kompas.com - 30/09/2011, 09:47 WIB

Oleh Orin Basuki

Mungkin Anda akan menjadi salah satu yang didatangi petugas sensus pajak hari ini. Sensus Pajak Nasional mulai 30 September hingga akhir November 2011 menyasar 1,5 juta wajib pajak. Kementerian Keuangan menjanjikan sensus ini lebih untuk menggali data dasar dan memberi penyuluhan.

Sensus Pajak Nasional (SPN) 2011 dilakukan demi mengejar target kenaikan penerimaan pajak menjadi 79 persen dari total pendapatan negara tahun 2012. Jumlahnya Rp 1.024,3 triliun, termasuk penerimaan kepabeanan dan cukai serta kenaikan Rp 5 triliun yang ditetapkan Komisi XI DPR pekan lalu.

Indonesia melalui empat perubahan mendasar perpajakan, yakni tahun 1984, 1994, 2000, dan 2005. Tonggak reformasi perpajakan adalah perubahan yang dimulai tahun 1984 ketika prinsip ”memaksa” dalam pemungutan pajak (official assessment) diganti asas melaporkan sendiri (self assessment) penghasilan pajak dan pemenuhan kewajiban pajak.

Reformasi 1984 hingga 2000 dianggap tidak cukup memberi keadilan kepada pembayar pajak dan memaksimalkan penerimaan negara. Karena itu, pada 2002-2005 digelar reformasi lanjutan. Modernisasi pajak tersebut dilakukan komprehensif, yaitu selain mereformasi peraturan perpajakan juga secara komprehensif dan simultan menyentuh sistem, institusi, layanan kepada wajib pajak, pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan, serta moral, etika, dan integritas petugas pajak. Tujuannya, menekan maksimal kebocoran pajak. Apalagi, sejak 2007 penerimaan pajak harus menutup 70 persen target APBN karena Indonesia ingin mengurangi ketergantungan pada utang.

Lalu, apakah SPN akan mengoreksi sistem ”menilai sendiri” atau sekadar mengejar target penerimaan pajak 2012?

Masih rendah

Menurut Dirjen Pajak Fuad Rahmany, SPN bertujuan memperkuat organisasi Ditjen Pajak untuk dapat menarik semakin banyak pembayar pajak. Karena itu, SPN akan berlanjut pada 2012. ”Orang yang belum bayar pajak banyak sekali. Kami akan datangi orang yang sama sekali belum membayar pajak. Ini harus menjadi kegiatan rutin kami,” jelas Fuad.

Upaya menambah wajib pajak aktif pernah dilakukan melalui proyek Sunset Policy pada Januari 2008-Februari 2009. Pemerintah membebaskan bunga dan denda administrasi pajak terutang untuk wajib pajak yang mau merevisi laporan pajaknya. Hasilnya, ada 156.000 surat pemberitahuan (SPT) yang direvisi dan mengalirkan tambahan penerimaan pajak Rp 6,9 triliun. Jumlah pemegang nomor pokok wajib pajak (NPWP) pun mencapai 12 juta.

Ironisnya, meski pemilik NPWP melonjak, pembayar pajak aktif tidak bertambah karena pembuat NPWP sebagian besar karyawan yang kewajiban pajaknya dilunasi pemberi kerja.

Data Ditjen Pajak per 23 September 2011 menunjukkan, dari 110 juta orang yang bekerja, hanya 8,5 juta yang melaporkan SPT tahun 2010, atau 7,73 persen. Dari 12,9 juta badan usaha aktif, hanya 466.000 perusahaan (3,6 persen) melaporkan SPT. Angka itu sangat rendah dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang yang mencapai 30 persen.

Tingkat kepatuhan wajib pajak badan juga lebih rendah dari orang pribadi. Buktinya, dari 12,9 juta perusahaan yang aktif beroperasi, hanya 1.608.337 perusahaan terdaftar di Ditjen Pajak. Itu pun hanya 1.534.933 perusahaan yang wajib menyampaikan SPT karena berbagai alasan, antara lain bukan obyek pajak di dalam negeri. Bila didalami, dari 1.534.933 perusahaan, hanya 501.348 perusahaan (32,66 persen) rajin menyampaikan SPT pada 2010, turun dari tahun 2009 sebesar 40,76 persen. Sementara, keseluruhan tingkat kepatuhan wajib pajak masih di atas 58,16 persen.

”Dengan sensus ini, kami ingin tingkat kepatuhan naik dari 62,5 persen pada 2011 jadi 65 persen dari jumlah wajib pajak 2012,” ujar Direktur Ekstensifikasi Pajak Ditjen Pajak dan Ketua Pelaksana Harian SPN Hartoyo kepada Kompas pekan lalu.

Tak perlu

Di sisi lain, sensus bukan satu-satunya jalan menambah jumlah pembayar pajak.

Menurut Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan Anshari Ritonga, metode SPN sebenarnya sama saja dengan program canvasing yang dilakukan Ditjen Pajak sejak lama. Bedanya, SPN butuh tambahan anggaran. ”Kalau sensus pajak tetap dilakukan, arahkan pada penguatan monografi fiskal, yakni menggambarkan jelas potensi perpajakan setiap rumah. Kenali siapa pemilik rumah, pekerjaannya, penghasilannya, dan potensi pajaknya. Jika ini tidak tercapai, maka anggaran untuk sensus jadi sia-sia,” ujar Anshari yang mantan Ketua Pengadilan Pajak.

Secara terpisah, Wakil Staf Ahli Dewan Perwakilan Daerah Bidang Fiskal Tjip Ismail menegaskan, SPN sebenarnya tidak perlu karena ada cara yang jauh lebih efektif, yakni melaksanakan Pasal 35A Ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Aturan ini menetapkan, tiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajib memberi data dan informasi berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak.

”Setidaknya lakukan aliran data antara lembaga pemerintah dulu dan bank. Apa yang tidak bisa dilakukan pemerintah, semua ada datanya di mereka,” ujar mantan Ketua Pengadilan Pajak itu.

Rasio pajak dan pembangunan

Sisi penting lain SPN dapat dilihat dari perdebatan selama ini tentang rasio penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB) di Komisi XI DPR. Di satu sisi, Menteri Keuangan menekan target penerimaan pajak karena untuk menambah 0,01 persen rasio pajak saja berarti harus mencari sumber penerimaan tambahan Rp 5 triliun. Di sisi lain, wakil DPR berkeras rasio pajak harus digenjot setinggi-tingginya, kalau bisa sampai 15 persen, bukan 12,66 persen PDB seperti target 2012.

Ekonom Iman Sugema kerap mengkritik kenaikan rasio pajak karena tidak diiringi pertumbuhan ekonomi yang sama tingginya, bahkan menurun. Dia menegaskan, penerimaan pajak yang tinggi ternyata berasosiasi dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah.

Imam menyebut, selama Orde Baru rasio pajak mencapai 7,4 persen, tetapi perekonomian hanya tumbuh 6,1 persen. Saat Gus Dur memimpin, rasio pajak 10,7 persen, tetapi pertumbuhan ekonomi hanya 4,8 persen. Hal itu berulang semasa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, rasio pajak 13,5 persen, sementara ekonomi hanya tumbuh 4,2 persen.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono memimpin pada 2004, rasio pajak 12,2 persen, tetapi pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen. Konsumsi pemerintah adalah salah satu pendukung pertumbuhan ekonomi dan sumber energinya penerimaan pajak.

Pada saat sama, aparat pajak terus berusaha mewujudkan potensi penerimaan. Pada tahun anggaran 1993/1994, dari potensi penerimaan pajak Rp 58,43 triliun, 52,2 persen (Rp 30,47 triliun) berhasil dihimpun. Lalu tahun 2002, dari potensi pajak Rp 235,7 triliun sebanyak 76,4 persen (Rp 180 triliun) jadi penerimaan negara. Tahun 2010, dari target Rp 606 triliun, sebanyak 98,1 persen masuk ke kas negara.

Meski begitu, potensi itu masih tercecer di berbagai tempat, antara lain pada aktivitas ekonomi ilegal. Pengamat pajak Darussalam menyebutkan, nilai potensi pajak yang hilang di ekonomi ilegal 39 persen dari PDB atau sekitar Rp 2.730 triliun jika besar PDB Rp 7.000 triliun.

Profesor JS Uppal pada 2003 menegaskan, potensi pajak Indonesia sebenarnya tiga kali lebih besar dari penerimaan.

Dalam jurnalnya, peneliti di Kementerian Keuangan, Gunawan Setiyaji dan Hidayat Amir, menyebutkan, kinerja penerimaan pajak juga perlu diukur dari tax buoyancy yang mengukur elastisitas kenaikan penerimaan pajak tiap kenaikan 1 persen PDB.

Data Bank Dunia menunjukkan, tax bouyancy Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain. Tiap kenaikan satu persen PDB penerimaan pajak meningkat 1,8 persen. Sementara, Malaysia mencapai 1,9 persen dan negara yang situasi politiknya rawan seperti Pakistan pun tax bouyancy mencapai 2,1 persen.

Gunawan Wisaksono dalam majalah dwibulanan Badan Pemeriksa Keuangan edisi Februari-Maret 2008 menuliskan, pemerintah mengklaim kenaikan penerimaan pajak hingga lima kali lipat, tetapi kenaikan itu tidak mendongkrak rasio pajak. BPK sangat kritis ketika dipimpin Anwar Nasution karena tidak mendapat akses memeriksa Ditjen Pajak. Mereka juga geram karena tidak mendapat fakta lengkap sehingga data penerimaan pajak masih karut-marut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com