JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat intelijen Wawan H Purwanto menyatakan, intelijen sebetulnya telah mengetahui gerakan teroris sejak 14 Agustus 2011. Gerakan ini kemudian muncul dalam aksi bom bunuh diri di Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah, Minggu (29/9/2011).
Wawan mengatakan, saat itu intelijen melaporkan ada lima orang yang disiapkan menjadi "pengantin" dan sudah dikukuhkan atau dibaiat. Selain itu, ada sembilan remaja yang sudah siap menjadi "pengantin", tetapi belum dibaiat.
"Pembaiatan dilakukan orang yang punya pengaruh. Mereka bergerak dari beberapa kota dan berniat menyerang pada rentang Agustus hingga September," kata Wawan, Senin (26/9/2011) di Jakarta.
Informasi tersebut lalu dilaporkan ke penegak hukum lain untuk ditindaklanjuti. Maka wajar bila terjadi pengamanan yang ketat pada rentang waktu dua bulan itu, terutama pada saat Idul Fitri. "Ternyata benar, pada September 2011 tepatnya pada Minggu (kemarin) terjadi peristiwa bom bunuh diri di Solo," ujar Wawan yang juga peneliti pada Lembaga Pengembangan Kemandirian Nasional (LPKN).
Ketika ditanya mengapa aparat hukum tidak segera bertindak, Wawan mengatakan aparat kepolisian belum cukup bukti untuk menangkap orang-orang tersebut karena hanya berdasarkan laporan. Polisi hanya mengawasi 14 orang tersebut.
Menurut Wawan, peristiwa tersebut bisa dijadikan momentum untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Intelijen Negara yang sudah dibahas sejak 2001. Tanpa peraturan yang jelas, Wawan menilai intelijen bagaikan anjing yang diikat dan hanya boleh dibiarkan menyalak tanpa wewenang untuk menggigit. "Kalau dibiarkan, maka masalah terorisme akan berkepanjangan," ucapnya.
Selain itu, agar masyarakat tidak merasa curiga, pembahasan RUU Intelijen antara pemerintah dan DPR harus pula melibatkan masyarakat. Langkah memperkuat sistem hukum ini dinilainya efektif mencegah terulangnya kejadian serupa.
Mengenai keterkaitan pelaku bom di Solo dengan jaringan teroris di Cirebon, Wawan menilai ada kemiripan antara kedua peristiwa tersebut. Namun, hal ini harus diperkuat dengan tes DNA dan sidik jari.
"Kalau memang benar, berarti ada benang merah antara peristiwa yang satu dengan lainnya. Jaringannya lama, tetapi pemain baru yang kebetulan berafiliasi untuk mengacaukan situasi dan ada upaya untuk membenturkan dengan agama tertentu," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.