Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hambalang dan Prestasi Olahraga Nasional

Kompas.com - 16/09/2011, 05:26 WIB

Kedatangan Muhammad Nazaruddin dari pelariannya menjadi topik utama media massa nasional karena terkait kasus korupsi wisma atlet persiapan SEA Games dan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Desa Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Kasus korupsi terkait fasilitas olahraga ini bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, meskipun tidak langsung terkait dengan dana olahraga, beberapa pejabat teras olahraga di Tanah Air pernah terjerat kasus korupsi. Bahkan, Sudjono Timan yang masih buron adalah mantan pengurus Pelti.

Proyek pembangunan pusat pelatihan dan sekolah olahraga nasional muncul ke permukaan sejak kasus Nazaruddin terungkap di media. Pembangunan Hambalang yang menelan biaya lebih dari Rp 1,2 triliun menjadi ramai karena sebagian dananya ditengarai mengalir untuk pemilihan calon Ketua Umum Partai Demokrat di Bandung.

Menurut Tommy Apriantono, staf pengajar Ilmu Keolahragaan, Sekolah Farmasi, ITB, tahun 2007, pihaknya pernah ikut merencanakan pembangunan Institut Sport Sains yang kelak akan dibangun di Hambalang. Bersama Adhyaksa Dault (Menpora saat itu) dan Deputi Menpora bidang Pemberdayaan Olahraga Djohar Arifin (Ketua Umum PSSI saat ini) ia berkunjung ke Japan Institute of Sports Science (JISS) untuk penjajakan kerja sama, tidak saja pembangunannya, tetapi juga mempersiapkan sumber daya manusianya.

Pasalnya, di Indonesia sering membangun fasilitas tanpa mempersiapkan SDM-nya sehingga ketika gedung dan fasilitas sudah siap, SDM yang akan mengelolanya tidak ada. Ini berbeda dengan Australian Institute of Sport (AIS), misalnya, ketika pembangunan berlangsung, sejumlah stafnya dimagangkan di Amerika Serikat dan Eropa sebagai kiblatnya.

Demikian halnya dengan staf JISS, ketika pembangunan berlangsung, sebagian besar calon staf pimpinannya magang di AIS selama satu tahun, sehingga nantinya dapat mengoperasikan Sports Institute. Tommy berharap Institute Sports Sains di Hambalang sudah mempersiapkan SDM yang tidak hanya berfungsi sebagai tenaga administrasi, atau seperti staf satuan pelaksana/satuan tugas yang selesai ketika kompetisi SEA Games selesai.

”Jadi, harus disiapkan SDM yang betul-betul memiliki karier dan dapat melakukan penelitian mengenai sports science. Dengan demikian, hasil penelitiannya, selain akan dimuat di jurnal internasional, juga bisa dimanfaatkan para pelatih untuk meningkatkan prestasi atlet Indonesia di level internasional, khususnya di olimpiade,” ujar doktor dari Dept of Training Science, Graduate School of Medicine, Nagoya University, Jepang, itu.

Australian Institute of Sport

Begitu pentingnya medali emas di olimpiade sehingga ketika atlet Australia untuk pertama kali tidak mendapatkan medali emas (1 perak, 4 perunggu) pada Olimpiade Montreal, Kanada, tahun 1976, rasa nasionalisme warga Australia terluka. Pemerintah Australia lalu merealisasikan rencana tahun 1973 mengenai ”Sport Plan” untuk meningkatkan prestasi olahraga. Program itu diketuai Prof John Bloomfield yang mengadopsi metode dari Eropa, khususnya Jerman Timur.

Tahun 1975 mereka merekomendasikan berdirinya Sports Institute. Meskipun demikian, mereka tidak tergesa-gesa membangun, tetapi dilakukan dengan rencana yang matang. Tahun 1981, Australian Institute of Sports diresmikan dengan menentukan sejumlah cabang olahraga yang akan difasilitasi. Cabang-cabang itu merupakan cabang olahraga unggulan mereka, antara lain renang, atletik, tenis, senam, dan cabang olahraga yang populer: netball serta sepak bola dan basket.

Menurut catatan Tommy, tahun 1983 fasilitas untuk semua cabang olahraga di Canberra itu selesai. Tetapi, Australia tidak membangun di satu kota, tetapi di kota lain di mana cabang olahraga tersebut merupakan unggulan di negara bagian tempat institut itu berlokasi. Misalnya, hoki di Perth, squash di Brisbane, sepeda di Adelaide, dan kano di Gold Coast. Pembangunan terus dilakukan salah satunya dengan memanfaatkan tempat Olimpiade Sydney.

Atlet yang dihasilkan dari program pelatihan di AIS meraih medali di Olimpiade Seoul 1988, 1 emas, 2 perak dan 3 perunggu dari 118 atlet anggota AIS. Tahun 1992 di Olimpiade Barcelona meningkat 3 emas, 5 perak dan 6 perunggu. Dan puncaknya adalah di Olimpiade Sydney tahun 2000. Dari 319 atlet saat itu, diraih 29 emas, 17 perak, dan 15 perunggu.

Rahasia keberhasilan AIS selain dengan menggunakan kolaborasi staf tenaga profesional dengan latar belakang minimal doktor sports science, juga para pelatih berpengalaman yang bersertifikat. ”Mereka tidak tergesa-gesa, transparan karena menggunakan dana publik sehingga setiap orang dapat mengikuti perkembangan pembangunannya,” tutur Tommy.

JISS

Bagaimana dengan Jepang? Untuk meningkatkan prestasi olahraganya, tahun 1992 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, dan Teknologi (Monbukagakusho) membentuk tim yang terdiri dari pakar sports science yang berasal dari beberapa perguruan tinggi, untuk membuat program, operasional dan perencanaan, serta pembelian peralatan dan fasilitas yang akan dibangun.

Tahun 2001 tim mulai beroperasi dan bertanggung jawab meningkatkan prestasi atlet Jepang di kompetisi level internasional. Ini sebagai bagian dari program "Basic Plan for the Promotion of Sports ” dari Monbukagakusho.

Fasilitas yang dibangun dengan melibatkan ilmuwan berlatar belakang sports science ini untuk mendukung pelatih dalam membuat program latihan, evaluasi latihan, strategi dan taktik analisis dalam rangka meningkatkan prestasi atlet. Sebutlah Kosuke Kitajima yang berhasil meraih medali emas Olimpiade Athena tahun 2004 untuk nomor 100 dan 200 meter gaya dada, setelah mengikuti program latihan high living low training, yakni tinggal di dataran tinggi dan latihan di dataran rendah.

Ini bisa dilakukan karena JISS dilengkapi fasilitas sekitar 400 kamar yang bisa disimulasikan seperti berada di ketinggian 2.000 meter sehingga atlet terbiasa dengan kondisi minim oksigen. ”Pelempar martil Koji Murofushi juga meraih medali emas di Olimpiade 2004. Murofushi ada di JISS sejak berumur 17 tahun sehingga metode latihannya bisa dikembangkan dan digunakan untuk atlet muda Jepang berikutnya,” ujar Tommy.

Selain itu, tersedia juga fasilitas Total Sports Clinic, yakni program yang bertujuan melakukan pemeriksaan kesehatan atlet, dan informasi keolahragaan. Bidang ini menghimpun data atlet Jepang dan atlet dari negara lain sehingga memudahkan bagi pelatih ketika membutuhkan data lawan.

Jadi, tidak seperti PSSI, ketika akan bertanding di babak penyisihan Piala Dunia lalu, mereka kesulitan mendapatkan data atau video pertandingan kesebelasan Turkmenistan.

(dmu) Harus disiapkan SDM yang betul- betul memiliki karier dan dapat melakukan penelitian mengenai ’sports science’.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com