Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka Bertahan dengan Buah Asam

Kompas.com - 05/09/2011, 03:20 WIB

Di Desa Uluwae, Kecamatan Bajawa Utara, Ngada, 180 kepala keluarga yang terdiri atas 720 jiwa menderita kelaparan. Mereka semua adalah keluarga transmigran di Unit Pelaksana Teknis Daerah Transmigrasi Uluwae yang kelaparan sejak Juni 2011.

Di Sumba Timur, pemerintah kabupaten mulai mendistribusikan beras bantuan cadangan, ke 74 desa di wilayah rawan pangan. Daerah-daerah tersebut mengalami rawan pangan karena kekeringan.

Yane tentu saja tak paham apa itu global warming. Ia adalah salah satu dari ribuan warga di pesisir selatan Kabupaten TTS yang sedang diterpa rawan pangan kambuhan. Gagal panen dan bencana longsor tahun ini adalah penyebab utamanya.

Ia tidak ikut ke hutan bersama anak-anaknya karena sedang sakit. Padahal, ayah anak-anak ini, Jery Nabu (46), merantau ke Malaysia sejak 2008. Tidak ada kabar berita, kecuali tahun 2010, ia sempat mengirim uang Rp 5 juta untuk membayar utang biaya keberangkatannya ke Malaysia.

Buah asam menjadi pilihan terakhir setelah semua jenis pangan gagal panen. Harga buah asam yang sudah dikeluarkan bijinya Rp 11.000 per kg, masih mengandung biji Rp 6.000 per kg. Harga itu paling tinggi dibandingkan dengan tahun 2009-2010, yang hanya Rp 3.000-Rp 5.000 per kg.

Ia mengingatkan ketiga putranya agar tetap tegar. Tidak boleh mencuri atau memungut asam di lahan warga lain. Jika kedapatan, mereka didenda satu ekor sapi, senilai Rp 5 juta.

Mereka harus pergi ke hutan, sekitar 2-3 km dari desa untuk mendapatkan asam yang tumbuh liar. Bocah-bocah ini sudah terbiasa masuk keluar hutan. Sebelumnya, Juni-Juli, mereka juga masuk keluar hutan mencari ubi hutan, tetapi ubi itu sudah habis. ”Sekarang ini pertahanan kami adalah buah asam. Biasanya asam dipanen bulan September-Oktober, tetapi bulan Agustus tahun ini, asam sudah mulai habis. Memasuki bulan September-Desember tahun ini, kami tidak punya apa-apa lagi,” kata Yane.

Mantan Kepala Desa Oeikiu, Yupiter Atinus Tuan, mengatakan, empat desa berdekatan di Amanuban Selatan, yakni Batnun, Oeikiu, Noemuke, dan Oebelo, sama-sama gagal panen. Bahkan seluruh desa di pesisir selatan TTS juga mengalami gagal panen.

”Warga tiga desa ini bergantung pada asam. Tetapi, buah asam sangat terbatas dibanding tahun lalu. Kini, asam sudah sulit dicari karena semua orang bergantung pada asam,” kata Atinus Tuan.

Biji asam disimpan untuk makanan terakhir setelah makanan lain habis. Tetapi, ada pula warga yang menjadikan biji asam makanan pokok saat ini. Biji asam yang sudah dikeluarkan dari daging buah, dijemur selama beberapa hari, kemudian digoreng setengah matang, disosoh (tumbuk) untuk mengeluarkan kulit luar (warna merah kecoklatan) untuk mendapat biji asam putih. Biji putih ini direndam di dalam air selama 2-3 hari sebelum dikonsumsi.

Lain lagi, dengan upaya warga Amanuban Selatan menghadapi rawan pangan. Pemilik hutan gewang, sejenis tanaman palem, mengonsumsi putak. Tepung gewang ini disaring untuk mendapatkan bubur gewang, atau dijemur untuk mendapatkan tepung kering.

Renol Missa (46) dari Desa Batnun mengatakan, putak menjadi pilihan warga, tetapi juga mulai langka. Padahal dulu, putak hanya lazim untuk pakan babi dan sapi. Ada dua bungkus gewang yang djual di pasar tradisional: bungkusan 20 kg, dan 10 kg. Bungkusan 20 kg harganya Rp 50.000, sedangkan yang 10 kg harganya setengahnya.

Setelah umbi, dan biji asam, kini giliran gewang makin langka. Sebab, hanya gewang usia di atas 10 tahun penghasil putak yang bagus. Sekarang, sebagian besar tanaman gewang sudah ditebang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com