Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Profesor dan Program Doktor di Indonesia

Kompas.com - 20/08/2011, 02:11 WIB

Keempat, sudah jadi rahasia umum profesor adalah stasiun terakhir dalam perjalanan dunia akademik. Dalam pengertian, sangat sedikit profesor yang mau dan punya waktu meneliti dan memublikasikan penelitiannya secara internasional setelah mereka mendapat gelar profesor. Namun, dengan ketentuan baru ini, para profesor tentu tak punya alternatif lain: harus melakukan penelitian dan memublikasikan hasilnya di jurnal internasional.

Penambahan doktor

Sudah terlalu sering dianalisis bahwa jumlah doktor di Indonesia dan jumlah publikasi internasional yang dilakukan peneliti/dosen di Indonesia kalah jauh dibandingkan Malaysia, Arab Saudi, Banglades, dan lain-lain.

Kementerian Pendidikan Nasional tentu perlu kerja keras mengatasi persoalan ini. Melalui program 5.000 doktor, bekerja sama dengan Pemerintah Jerman, pemerintah berusaha keras menambah jumlah doktor secara signifikan. Upaya ini harus kita apresiasi karena dana yang dipakai adalah dana dari penghapusan utang Pemerintah Indonesia oleh Pemerintah Jerman.

Sementara penambahan jumlah doktor melalui program pascasarjana di dalam negeri berjalan sangat lambat. Sebab, tidak semua universitas negeri punya program S-2 dan S-3 bidang keahlian tertentu.

Ada tiga saran yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan masalah-masalah yang dikemukakan di atas.

Pertama, program doktor (S-3) di Indonesia sebaiknya disederhanakan dan jumlah mata kuliah diminimalkan atau dihilangkan sehingga mahasiswa punya banyak waktu untuk meneliti. Di jenjang S-1 dan S-2, para kandidat doktor sesungguhnya sudah mengambil banyak sekali mata kuliah. Program doktor seharusnya dapat dipahami secara sangat sederhana, tidak perlu dipersulit prosedur dan penanganannya.

Secara tradisi, terutama di Eropa, sejak awal berlangsungnya program pendidikan doktor, peran profesor sangat dominan dan peran institusi sangat sedikit. Proses pembentukan seorang doktor adalah proses kloning sehingga kandidat doktor tersebut mampu berbuat seperti kemampuan pembimbingnya. Profesor dan anak asuhnya (calon doktor) bekerja bersama dalam laboratorium, sampai suatu saat anak asuhnya betul-betul dapat dilepas (diwisuda) sebagai doktor.

Kedua, khusus untuk program doktor (S-3), profesor di satu universitas yang tak ada S-3-nya diberi juga hak membimbing calon doktor. Ekstremnya, program pascasarjana hanya mengelola pendidikan magister (S-2), sedangkan untuk program doktornya diserahkan kepada profesor setiap universitas.

Profesor yang ditunjuk membimbing calon doktor tentu yang telah memublikasikan karya ilmiahnya secara internasional dan di jurnal berpengaruh. Untuk saat ini kita punya sekitar 4.000 profesor yang tersebar di seluruh Nusantara. Banyak dari profesor tersebut tak punya mahasiswa S-3 karena bidang keahliannya tak ada program S-3-nya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com