Harry Susilo
Benar saja, ketinting atau perahu kayu kecil bermesin yang dapat memuat lima orang itu membawa berbagai jenis kebutuhan pokok dari Tawau, Malaysia. ”Kami bisa makan karena ada barang-barang dari Tawau,” kata Haji Tahir (67) sembari menurunkan barang kebutuhan pokok miliknya.
Hampir semua kebutuhan sehari-hari warga Sebatik dipasok dari Tawau, mulai dari gula, telur, elpiji, minyak goreng, hingga daging sapi. Adapun hasil bumi dari Sebatik, seperti kelapa sawit, kakao, pisang, sayur-sayuran, dan ikan, dijual ke negeri jiran tersebut.
Haji Tahir, misalnya, baru saja menjual 20 tandan pisang yang dipanen dari kebunnya ke Tawau seharga 5 ringgit Malaysia (RM) atau Rp 14.300 per tandan. Uang hasil penjualan pisang dia gunakan untuk membeli telur, gula, dan elpiji.
Pulau Sebatik di ujung utara Kaltim merupakan pulau terluar atau terdepan Indonesia yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Sisi selatan pulau seluas 246,61 kilometer persegi ini masuk wilayah Indonesia, sedangkan bagian utara seluas 187,23 kilometer persegi masuk Malaysia.
Terdapat dua kecamatan di pulau yang masuk wilayah Kabupaten Nunukan ini, yakni Sebatik dan Sebatik Barat. Saat ini, penduduk Sebatik diperkirakan sekitar 31.000 jiwa yang kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, diikuti Nusa Tenggara Barat, dan Jawa.
Untuk mencapai Tawau dari dermaga di Desa Sungai Nyamuk, Sebatik, hanya dibutuhkan waktu sekitar 15 menit dengan ketinting. Jika ingin ke Pulau Nunukan, warga Sebatik harus menghabiskan setidaknya 1,5 jam menyeberangi Selat Sebatik dilanjutkan perjalanan darat.
Sudah berpuluh-puluh tahun penduduk Sebatik menggantungkan hidupnya dari negeri tetangga. Ketergantungan ekonomi ini sulit diputus mengingat ketimpangan pembangunan di dua daerah tersebut.